Rabu, 19 Januari 2011

The Thinker: Pending in Papua

Oktovianus Pogau 

| January 13, 2011

It’s been almost 10 years since the 2001 Law on Special Autonomy in Papua came into being. The law was introduced to solve the numerous problems, especially issues of social inequality, between Papua and other regions in Indonesia.

The Special Autonomy Law was the greatest delegation of power the Indonesian government would allow itself to give to the indigenous people of Papua.

As such, the law was expected to provide more opportunities to and expand the participation of the indigenous people of Papua in all areas of development. However, many Papuans believe autonomy has failed.

Why and how could this have happened?

To facilitate the process of special autonomy, the central government established the Papuan People’s Assembly (MRP) as a culturally representative institution of indigenous Papuans.

It came into being two years after special autonomy was enforced, through a December 2004 presidential decree.

The main functions and tasks of the MRP were to protect the rights of all Papuans, based on respect for tradition and culture; empower Papuan women; and strengthen the harmony of religious life in the region.

In keeping with the spirit of the Special Autonomy Law, the assembly consists of a mix of Papuans selected to represent indigenous men, women and the region’s various religious and ethnic groups.

There are currently 45 members in the MRP — 41 representatives plus four leaders. However, the assembly’s performance to date has been less than satisfactory.

In February 2008, Papuan protesters and college students gathered at the MRP office demanding that the ineffective body be disbanded.

Papua’s special autonomy came into force coupled with a large amount of central government funding.

This funding was expected to be used to help the region catch up with other areas in Indonesia in terms of development.

Government funding has ranged from Rp 2.4 trillion ($266 million) in 2004 to an estimated Rp 5.8 trillion in 2011.

The money was intended to finance various vulnerable sectors such as the economy, education and health care for the people of Papua.

However, in many ways these sectors have seen little improvement, while local officials have taken advantage of corruption opportunities presented by the inflow of government money.

Special Autonomy Fund money also appears to have gone astray.

Papua’s governor, Barnabas Suebu, wrote in his book “We Do the Planting, We Do the Watering, God Makes it Grow” that about 80 percent of the Special Autonomy Fund went to provincial and district government officials and was wasted rather than used to fund development in poor communities.

The process of awarding funds to Papua in the form of block grants has proven to be an inappropriate policy.

This is because the block grants are provided to the provincial government without clear tasks or functions. The money is then misspent and does not reach its intended target — the people in the villages.

Because of the misuse of the Special Autonomy Fund, living conditions for the people of Papua are deteriorating rapidly.

Despite the government budget allocation of Rp 22 trillion to the region of four million people, infrastructure remains underdeveloped. In contrast, West Java has a population of more than 40 million people and receives only Rp 10 trillion, but has much better infrastructure.

A thorough evaluation of the Special Autonomy Law should be conducted, and the Special Autonomy Fund audited.

These are the appropriate and necessary measures that need to be taken in order to keep special autonomy on the right track in the next few years and support its implementation.

In addition to auditing the Special Autonomy Fund, the central government also needs to establish an independent institution responsible for controlling and supervising the use of the fund.

It would be better if this institution was not bound by the governing bureaucracy.

President Susilo Bambang Yudhoyono has made public calls for Papua’s special autonomy to be evaluated immediately, including an audit of the Special Autonomy Fund.

Areas that need to be carefully evaluated include budget management and supervision.

The evaluation and auditing of autonomy funds may just be the wisest step the government could take to support Papua’s Special Autonomy Law in the future.

The Papuan people are still waiting for the best way to improve their living conditions and welfare.

We remain hopeful.
 

Oktovianus Pogau is a member of the Papua Solidarity Society. He lives in Jakarta.


http://www.thejakartaglobe.com/columns/the-thinker-pending-in-papua/416800


OTSUS PAPUA Hapus Stigma Separatis dan Bangun Dialog Bersama

OTSUS PAPUA
Hapus Stigma Separatis
dan Bangun Dialog Bersama

Kamis, 20 Januari 2011
JAKARTA (Suara Karya): Paradigma kecurigaan sebagai separatis terhadap rakyat Papua, sudah saatnya harus diubah. Jika tidak ada keinginan untuk membenahinya, maka akan sulit membangun dialog dengan masyarakat dan komponen lain di Papua, padahal ini penting bagi pembangunan Bumi Cenderawasih di masa mendatang.
"Opini yang seharusnya adalah, rakyat Papua harus ditempatkan sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kecuali mereka, secara hukum bisa dibuktikan sebagai anggota gerakan separatis," kata Ketua Pansus Papua DPD Paulus Y Sumino, kepada Suara Karya, di Jakarta, kemarin.

Karena itu, tutur dia, perlu dilakukan dialog antara pemerintah pusat dan rakyat Papua. "Namun, yang menjadi masalah, siapa yang harus mewakili rakyat Papua, apakah pemda provinsi, pemda kabupaten, Majelis Rakyat Papua (MRP), ini yang perlu dicari pemecahan yang tepat," ujarnya.

Selain itu, ucap dia, juga harus ada penekanan sebelum dialog dilakukan, semua pihak yang terlibat dalam dialog harus setuju bahwa mereka tidak akan membahas masalah referendum dan kemerdekaan Papua. Tetapi pembahasan adalah mencari pemecahan atas upaya mensejahterakan rakyat Papua.

Kondisi semacam itu yang kini sedang didalami Pansus Papua DPD RI. "Kami harus mendengar semua masukan dari komponen bangsa yang ada," katanya.
Problem Hukum

Terkait dugaan banyaknya penyalahgunaan keuangan daerah di Papua yang dilakukan pejabat setempat, baik itu penyalahgunaan dana yang bersumber dari APBD, dana otsus dan dana-dana bantuan lain, diperlukan pendekatan lebih kepada masyarakat dan pejabat daerah.

Menurut Paulus Sumino, jika dana dari APBD atau dana otsus tidak sesuai peruntukan secara administratif, tetapi tetap digunakan untuk kesejahteraan rakyat, khusus bagi Papua seharusnya tidak dianggap sebuah korupsi.

"Kami sudah meminta kepada Kapolda Papua, Kejati Papua dan juga KPK, agar bisa lebih arif menyikapi kasus di Papua ini. Karena saat ini, hukum belum bisa diterapkan secara hitam putih di Papua," katanya.

Menurut dia, di sinilah peran aparat penegak hukum untuk mengawasi dan membina bidang hukum pejabat kabupaten/kota di Papua. (Joko S)
 
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=270859

 
 

AGAMA JANGAN MENJAJAH ORANG PAPUA


Rekonstruksi MRP

oleh Ismail Asso *

MRP SEBGAI INSTITUSI KULTURAL PURE (ASLI) PAPUA HARUS DIJAUHKAN DAN MENJAUHKAN DIRI DARI AGAMA. USULAN INI BERANGKAT DARI REFLEKSI PEMIKIRAN PENULIS SECARA MENDALAM TATKALA MEMPERHATIKAN SIKAP VATALISME DAN MESIANISME RAKYAT PAPUA BAHWA TUHAN MELALUI AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA YANG DIBAWA MASUK ORANG NON PAPUA DAN DIAJARKAN PADA RAKYAT PAPUASEAKAN BAHWA KITA SEMUA PEMELUK MASING-MASING AGAMA BANYAK BERHARAP PADA TUHAN AKAN DATANG MEMBEBASKAN KITA APALAGI USAHA PERJUANGAN KEMERDEKAAN PAPUA SERAHKAN PENUH TUHAN ADALAH UTOPIA (MIMPI) MALAH SANGAT BERBAHAYA KARENA ITU MELAHIRKAN SIKAP VATALISME PADA RAKYAT PAPUA.

APAPUN AGAMANYA DAN SIAPAPUN PENGANUTNYA, KITA HARUS TAHU BAHWA PADA UMUMNYA SEMUA AGAMA MEMBERIKAN IMPIAN KOSONG DAN HARAPAN-HARAPAN SEMU BAHKAN HARAPAN PALSU BAHWA TUHAN AKAN DATANG MEMBEBASKAN RAKYAT PAPUA DARI PENJAJAHAN DAN PENINDASAN YANG DIRASAKANNYA SEJAK PAPUA DIINTEGRASIKAN KEDALAM WILAYAH NKRI HANYA BOHONG SAJA. TUHAN TIDAK BERKUASA ATAS NASIB KEMERDEKAAN ORANG PAPUA TAPI YANG MENENTUKAN MERDEKA ATAU TIDAKNYA ORANG PAPUA DITENTUKAN ORANG PAPUA SENDIRI TANPA MENUNGGU HARAP KEBAIKAN HATI TUHAN DATANG MEMBEBASKAN PAPUA DARI PENJAJAHAN

TUHAN KAPANPUN TIDAK KUASA ANGKAT SENJATA MELAWAN PENAJAJAT ATAU PENJAJAH BANGSA PAPUA TAPI ITU HARUS DILAKUKAN OLEH MANUSIA PAPUA SENDIRI KALAU BENAR INGIN MERDEKA DARI PENJAJAHAN. INGAT INI SELALU KAPANPUN DAN DIMANAPUN KAU BERADA WAHAI MANUSIA PAPUA ATAS KATA-KATAKU INI, " TUHAN TIDAK PEDULI, ENTAH KO BERDO"A ATAU TIDAK YANG MENENTUKAN PAPUA MERDEKA ATAU TIDAK BUKAN HARAP KEBAIKAN HATI TUHAN TAPI ATAS USAHA CUCURAN DARA, KERINGAT DAN AIR MATA ORANG PAPUA SENDIRI". TUHAN TAHU ATAU TIDAK ORANG PAPUA MAU MERDEKA ADALAH AKALAU MEMANG BENAR KALAU TUHAN ADA TAPI KALAU TUHAN TIDAKA ADA ATAU ADA SESUNGGUHNYA MANUSIA TIDAK PERSIS MENGERTI.

HAL INI SANGAT BERBAHAYA MENGINGAT AGAMA TUHAN DIPERKOSA DALAM BAHASA DAN LISAN MANUSIA DALAM KENYATAANNYA ORANG PAPUA MELALUI AGAMA DAPAT DIBEBASKAN DAN MEMBEBASKAN DIRI TAPI SEBALIKNYA MEMBELEBGGU KEKBASAN DAN PEMBEBASAN NASIB DAN NASIB RAKYAT PAPUA SENDIRI MENJADI PENJAJAHAN ITU BUKAN SAJA BERLARUT-LARUT TETAPI AGAMA MENAMBAH BEBAN PENAJAHAN.

AGAMA BAGI RAKYAT PAPUA JIKA  DIAMATI SECARA SEKSAMA DARI JARAK SANGAT DEKAT SAMPAI BATAS TERLIBAT LANGSUNG DIDALAM AGAMA DAN MASYARAKAT PAPUA MAKA SAYA TIDAK BISA MENYANGKAL KENYATAAN BAHWA AGAMA HARUS DIDUGA SANGAT BERTANGGUNGJAWAB SEBAGAI BAGIAN DARI PENJAJAHAN ITU SENDIRI. ATAS NAMA AGAMA DILUAR AGAMA SAYA TIDAK ADA KESELAMATAN.

DEMIKIAN HAMPIR SEMUA AGAMA BESAR DUNIA SEMISAL ISLAM, KRISTEN DAN YAHUDI BAHWA KITA SEMUA SADAR DAN MENGHAAYTI INI DALAM AJARAN MASING-MASING AGAMA MENGAJARKAN "DILUAR AGAMA SAYA AGAMA SALAH, AGAMA KAMI SAJA YANG BENAR DAN BAIK, DILUAR AGAMA SAYAJAHAT KARENA ITU HARUS DICURIGAI, TIDAK BOLEH ADA, JANGAN BERKEMBANG. HANYA AGAMA SAYA SAJA YANG BENAR, DILUAR AGAMA SAYA HARUS DICEGAH AGAR JANGAN ADA, JADI AGAMA MEREKA ITU YANG MEREKA ANUT DILUAR AGAMA SAYA YANG SAYA ANUT ITU AGAMA YANG SALAH. AGAMA MEREKA SALAH MAKA KITA HARUS MENG-AGAMAKAN MEREKA DENGAN AGAMA KITA. KARENA TU AGAMA ORANG LAIN, AGAMA DILUAR AGAMA KITA, PADA DASARNYA AGAMA YANG SALAH, JAHAT DAN HARUS DIWASPADAI.

DEMIKIAN HAMPIR SEMUA AJARAN DAN WATAK AGAMA YANG MEJADI KESADARAN PARA PENGANUTNYA YANG DIAJARKAN OLEH SEMUA AGAMA BESAR DUNIA KITA SEMUA TAHU BAHWA MASING-MASING AGAMA MENGAJARKAN PADA PEMELUKNYA HANYA AGAMA KAMI YANG PALING BENAR, DILAUR AGAMA KITA SALAH. SEMUA AGAMA BESAR DUNIA MEMILIKI WATAK AJARANNYA ADA TRUTH CLIEM BAGI PARA PENGANUTNYA DAN ITU SEMUA ADA DAN TERJADI PADA SEMUA PENGANUT AGAMA SATU  KEPADA PEMELUK AGAMA DILUAR AGAMA DIA.

Hapus MRP Unsur Agama

 MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) adalah institusi REFRESENTASI cultural rakyat PRIBUMI 270 suku Papua. Maka kedepan MRP perlu recontruksi (dibenahi kembali) agar lembaga ini benar-benar dapat merefresentasikan cultural Rakyat Papua. Sehingga MRP tidak terkontaminasi dengan unsur asing yang bukan Papua sebagai Papua atau sebaliknya. Misalnya perwakilan unsur agama yang ada saat ini menurut hemat saya tidak merefresentasikan MRP sebagai lembaga Asli Rakyat Papua. Sebab bagi orang Papua Agama adalah gejala baru dan bukan unsur pure (asli) Papua. Oleh sebab itu pameo bahwa Adat ada dulu baru agama dan pemerintah datang (amber) dalam kebudayaan Papua.

 Jika saat ini ada unsur perwakilan agama maka itu bertentangan dengan MRP sendiri sebagai lembaga refresentasi kultural Rakyat Papua. Mengapa ? Karena agama bukan unsur Asli Papua. Sedangkan faktanya hampir 80% rakyat Papua digunung masih menghayati nilai-nilai lama sebagai nilai yang hidup hampir sama dengan agama besar dunia yang dibawa datang Para Missionaris dan Pedagang dari Timur Tengah/Bugis-Jawa Melayu. Karena itu selama ini MRP ada tiga unsur kelompok segment masyarakat harus benar-benar konsisten sebagai lembaga Adat Papua, bukan dicampur aduk antara nilai asing baru bukan Papua dan Papua Asli.

 Karena itu menurut hemat saya unsur perempuan dan Adat sudah benar tapi unsur agama dalam MRP bertentangan dan salah kalau MRP sebagai lembaga Adat Papua. Mengingat Agama bukan made in Papua tapi sesuatu yang asing dan baru dalam gelaja pembangunan nasional yang berlangsung kini.

Sehingga kita semua membedakan mana unsur asli Papua dan bukan unsur asli Papua nantinya. Maka perwakilan Agama harus dihapus dan diganti dengan perwakilan unsur Pemuda. Sehingga MRP unsur-unsur asing dibuang dan unsur asli diperkokoh guna menjaga keaslian Papua.

 Sesuai amanat UU Otsus Papua No 21 tentang pemerintahan sendiri dan Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah. Maka pembangunan dengan pendekatan pada keberpihakan pada penduduk Asli Papua mutlak perlu. Caranya adalah dengan memberikan ruang dan tempat seluas-luasnya pada pribumi Papua diberbagai lembaga pemerintahan maupun dalam bidang ekonomi. Sehingga secara sistematis desakan dan suar-suara Otsus gagal, refrendum, ditingkatkan dengan tingkat partisipasi semua secara sistematis pula. Harus diingat bahwa proteksi politik dan ekonomi, sosial-budaya dan hukum pada penduduk asli harus menjadi prioritas utama semua pihak baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah era Otsus saat ini. Jika tidak Otsus sama sekali tidak bermakna bagi penduduk Pribumi Papua.

Kebijakan pemerintah pusat memberikan Otsus bukan sesuatu yang asing dalam kebijakan pembangunan nasional dimanapun dunia dibanyak negara yang memiliki sejarah konflik internal kebangsaannya kebijakan seperti ini sesuatu yang biasa dan dilakukan. Untuk tidak jauh-ambil contoh kemana adalah Bovin Dan itu penting artinya bagi masyarakat Papua agar mereka membangun dirinya sendiri sesuai semangat dan amanat UU Otsus Papua. Sebab pengembalian Otsus oleh sebahagian masyarakat Papua kesejahtreaan adalah tolak ukurnya. Mengingat selama 11 tahun Otsus Papua berjalan Rakyat Papua tetap saja miskin dan terbelakang.

Oleh sebab itu sebagai bagian dari pembenahan semua sistem kebijakan dalam pembangunan Papua sesuai UU Otsus maka urusan pemerintahan dan pengelolaan sepenuhnya diserahkan pada Rakyat Papua sendiri tanpa intervensi oleh pusat adalah maha amat penting. Mengapa? Sebab rakyat Papua sejauh ini merasa bahwa Otsus gagal karena gagal mensejahterakan penduduk Pribumi. Dalam banyak lapangan kerja misalnya BUMN dan juga pemrintahan Otsus masih ada gejala despotisme dan intervensi negara dan pemerintah sangat tinggi. Wajar jika akibatnya banyak pihak menilai Otsus gagal dan MRP pada bulan Juli lalu telah mengembalikannya.

Oleh sebab itu guna menimalisirt intervensi unsur asing dalam budaya dan Adat masyarakat Papua apalagi MRP adalah refresentasi cultural (adat-budaya) Papua maka yang harus duduk dan mewakili lembaga Adat-Budaya Papua harus yang benar-benar budaya dan Adat Asli Papua. Konsekuensinya maka unsur utusan MRP mana saja yang boleh dan berhak diwakilkan Rakyat Papua dari unsur asli bukan unsur asing dan baru dalam kebudayaan dan Adat Rakyat Papua.

 Maka utusan wakil agama dalam tubuh MRP kedepan harus dihapus dan diganti dengan unsur lain atau unsur pemuda Papua agar MRP benar-benar warna budaya Papua Asli bukan sesuatu yang asing dan baru dalam budaya orang Papua dilembaga ini. Pemuda adalah sebagai unsur yang penting dalam utusannya diwakilkan dalam MRP kedepan sebagaimana unsur utusan perempuan yang berjalan selama ini walau bukan dianggap budaya Papua. Unsur apa saja dari segmen lapisan masyarakat adat yang berhak dan diutus perwakilan dalam MRP kedepan sebagai sebagai lembaga refresebtasi cultural rakyat Papua ini berhak diwakilkan menjadi agenda para kaum cerdik cendekia Papua. Misalnya batasan Orang Pribumi Papua. Lalu batasan apa dan bagaimana atau siapa saja yang dimaksudkan dengan budaya asli Papua.

Karena itu penting diperhatikan disini adalah dibelakang alasan fundamental dari proses purefikasi MRP sebagai institusi cultural rakyat Papua adalah urgen disini. Bukan sesuatu yang asing dalam budaya asli Papua. Purifikasi menjadi kesadaran kita bersama bahwa ada pintu masuk unsur asing didalam lembaga keaslian papua adalah pintu masuk mengacaukan keaslian Adat-Budaya Papua penting diwaspadai bersama. Unsur itu adalah perwakilan unsur agama.

Karena itu kedepan perwakilan unsur agama dihapus dan diganti dengan unsur pemuda. Maka MRP kedepan benar-benar lembaga keterwakilan (refresentasi) culrural (Adat-Budaya) Papua. Dan langkah ini dianggap dan dimaknai sebagai langkah maju yang harus segera dilakukan untuk menjaga Papua unik dalam Indonesia dengan keontetikan Adat-Budayanya.  

Inovasi MRP yang dimaksudkan disini adalah agar kedepan ada kemauan agar orang Papua sendiri sadar mana unsur asli dan asing agar dengan tahu dan sadar itu sebagai pintu masuk proses contruksi total unsur-unsur apa saja yang dianggap Papua dan bukan dianggap pure (asli) Papua untuk ditata ulang wajah MRP kedepan. Agar MRP benar-benar berwajah Asli Papua.Innovasi (pembaharuan) MRP karena itu sangat penting mendesak sebagai bagian dari proses pureficate secara fundamental total harus dilakukan. Langkah-langkah revolusioner ini harus dilakukan oleh tidak saja anggota MRP baru tapi bersama-sama seluruh element komponent komunitas rakyat Papua 270 suku dan bahasa Papua.

USUL KONKRIT

 Utusan MRP unsur agama harus diganti dengan utusan unsur PEMUDA atau unsur lain. Demikian ini adalah sebagai bagian dari usaha merekontruksi dan innovasi institusi MRP sebagai refresentasi cultural Rakyat Pribumi Asli asal Papua. Sebab dalam pengertiannya budaya menyangkut bahasa, mata pencaharian, seni, kepercayaan dan keterampilan suatu bangsa. Maka agama apapun agama yang baru datang dan berkembang dewasa ini di Papua adalah semuanya unsur asing dalam Adat-Budaya Papua. Maka kalau kita mau konsisten dengan institusi ini benar-benar sebagai refresentasi cultural orang Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) unsur AGAMA (Islam, Katolik dan Protestan) yang dijatah wakilnya duduk di MRP periode masa lalu sesungguhnya bukan unsur pure (asli) made in Papua.

 Karena itu unsur wakil agama di MRP harus diganti dengan unsur PEMUDA atau lain. Agar MRP secara konsisten dan benar-benar sebagai refresentasi cultural Rakyat Papua. Mengingat agama pintu masuk unsur asing dalam adat-budaya Papua guna mengotori nilai-nilai keaslian Papua yang hakiki. Jika unsur agama dibiarkan tetap ada dan masuk dalam perwakilan MRP maka implikasinya buruknya adalah UU PERDASUS MRP BABA III Pasal 4 ayat 1 poin (a). "Percaya Kepada Tuhan YangMaha Esa", dan seterusnya sampai point d masuk sebagai bentuk intervensi negara pada lembaga ADAT yang tidak perlu harusnya.

 Karena itu kedepan MRP wakil Agama harus ditiadakan atau diganti dengan unsur perwakilan PEMUDA Papua. Karena jika dibiarkan unsur agama tetap ada maka sesungguhnya kita sama saja tidak konsisten dengan apa yang kita sebut MRP sebagai institusi cultutal rakyat Pribumi Papua suku bangsa Melanesia. Dan ingat UU PERDASUS MRP tahun 2010 lalu dan masuknya pasal 4 ayat 1 point a, b, c dan d adalah salah satu bentuk intervensi negara dalam ADAT-BUDAYA Papua.

Demikian ini penting untuk perhatian semua agar ada perbaikan MRP kedepan. Catatan : Biarlah agama sesuatu yang suci tanpa dikotori manusia demi ambisi politik. Agama berdimensi transendental jika dibawa turun ke bumi maka hanya pada tataran moral etik bukan praktis politik yang akhirnya mengotori kesucian dan kebaikan agama bagi semua dan universal.

 *Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua (FKMPT) Papua. Bisa dihubungi melalui kontak HP : 081383418655




Korban Penganiayaan Tentara Disundut Kemaluannya


TEMPO Interaktif, Jayapura - Dua warga Papua, Telenggen Gire dan Tunaliwor Kiwo atau Anggen Pugukiwo, yang disiksa tentara di Puncak Jaya, Papua, 27 Mei 2010 silam, diikat menggunakan tali jemuran dan disundut kemaluannya menggunakan bara api. Korban juga sempat ditutup wajahnya memakai plastik kresek warna hitam.

Hal tersebut terungkap dalam sidang Kamis (20/1), di Mahkamah Militer III-19 Jayapura. “Korban telah diikat menggunakan tali jemuran, saksi berikutnya juga membekap wajah korban dengan plastik serta menginjakkan kaki di wajah korban,” kata Mayor Soemantri. BR, Oditor persidangan, hari ini.

Mayor Soemantri mengatakan, di tubuh korban terdapat luka bakar di sekitar kemaluan dan beberapa luka di beberapa bagian tubuh. “Yakson Agu menyulut kemaluan korban, sementara Thamrin Mahangiri menutupi korban dengan plastik,” ujarnya.

Sebelumnya 11 November 2010, empat anggota TNI di Puncak Jaya, juga dihukum karena menyiksa warga Papua. Komandan Pleton Yonif 753/AVT/Nabire, Letnan Dua Cosmos saat itu divonis tujuh bulan bui, sementara tiga anak buahnya, Prajurit Kepala Syminan Lubis, Prajurit Dua Joko Sulistyo dan Prajurit Dua Dwi Purwanto divonis lima bulan penjara.

Hakim Ketua Pengadilan Militer III-19 Jayapura Letnan Kolonel CHK Adnan Madjid menyatakan Letnan Dua Cosmos terbukti bersalah membiarkan anak buahnya menganiaya warga sipil. Sementara para anak buahnya terbukti menganiaya warga sipil pada 17 Maret 2010.

Keempat prajurit TNI itu dinyatakan melanggar pasal 103 KUHPM junto Pasal 55 KUHP yakni melawan perintah atasan atas inisiatif sendiri.

JERRY OMONA



Sidang kabinet akan bahas Papua


Oleh Linda T. Silitonga | Created On: 20 January 2011
Published On: 20 January 2011
JAKARTA: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari ini akan menggelar sidang kabinet yang salah satu agendanya adalah mendengarkan paparan Gubernur Papua dan Papua Barat serta Sulawesi Tenggara.

Biro Pers dan Media Istana Kepresidenan menginformasikan sidang kabinet akan digelar mulai pukul 13.00 di Istana Presiden.

“Dalam sidang paripurna [hari ini] salah satu rencananya paparan Gubernur Papua dan Papua Barat serta Sultra,” kata Staf Khusus Presiden bidang Informasi Heru Lelono melalui pesan singkat dari telepon genggamnya hari ini.

Di samping  dihadiri tiga gubernur yaitu Gubernur Papua Barat Abraham Oktavianus Atururi, Gubernur Papua Barnabas Suebu, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam Putera,  sidang kabinetakan dihadiri sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II.

Sebelum agenda sidang kabinet, Biro Pers dan Media Istana Kepresidenan menyebutkan Presiden Yudhoyono lebih dulu menerima pemuda Muhammadiyah di Kantor Presiden yang ada di lingkungan Istana Presiden yang akan dimulai pukul 11.00 WIB. (msw)
 
http://www.bisnis.com/index.php/ekonomi/makro/7814-sidang-kabinet-akan-bahas-papua

 
 
 

3 Anggota TNI di Papua Mengaku Bersalah

Video Kekerasan TNI
3 Anggota TNI di Papua Mengaku Bersalah
Editor : Heru Margianto
Kamis, 20 Januari 2011 | 09:05 WIB
 
Youtube Salah satu cuplikan adegan kekerasan terhadap seorang warga Papua yang diduga terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dilakukan oleh orang-orang berseragam TNI. 
JAYAPURA, KOMPAS.com - Tiga anggota TNI yang menjadi terdakwa kasus penyiksaan terhadap warga sipil di Papua mengaku bersalah atas perbuatan mereka. Mereka mengakui penyiksaan dilakukan spontan dan tidak terencana karena jengkel terhadap aksi kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka yang kerap merongrong aparat.

Pengakuan itu terungkap dalam sidang pemeriksaan terdakwa yang dilakukan terbuka di Pengadilan Militer Jayapura, Papua, Rabu (19/1/2011). Dalam sidang yang dipimpin hakim Letnan Kolonel (CHK) Adil Karo-karo, ketiga terdakwa mengakui penyiksaan itu dilakukan secara sadar meski komando taktis memerintahkan untuk melepaskan kedua warga yang dicurigai sebagai anggota OPM itu.

Seperti diberitakan, pada 27 Mei 2010 di Pos TNI Gurage, Kabupaten Puncak Jaya, atau sekitar 20 kilometer dari Mulia (ibu kota kabupaten), terjadi penyiksaan terhadap Telenggen Gire dan Anggen Pugukiwo, warga yang diduga anggota OPM.

Penyiksaan dilakukan Wakil Komandan Pos Gurage Sersan Dua Irwan Riskianto dan kedua anggotanya, Prajurit Satu Yapson Agu dan Prajurit Satu Thamrin Makangiri. Mereka dari kesatuan Batalyon Infanteri 753/Arga Vira Tama. Gambar penyiksaan itu terekspose di situs YouTube.

Dalam persidangan kemarin, sempat terjadi perbedaan kronologi atas pengakuan para terdakwa dengan saksi Prajurit Satu Berno. Pengakuan versi Pratu Berno yang dibacakan oditur Mayor (CHK) Obet Manase mengungkapkan, karena saksi tidak dapat datang (sedang dinas luar), penyiksaan oleh Serda Irwan dilakukan dengan menodongkan senjata SS1 ke muka Anggen Pugukiwo. Namun, para terdakwa mengatakan pengakuan itu tidak benar karena penodongan dilakukan terhadap Telenggen Gire.

Saat diperiksa, Pratu Yason Agu menjelaskan, penangkapan kedua warga yang diduga anggota OPM itu telah dilaporkan ke komando taktis. Karena barang bukti hanya identitas ganda, komando taktis memerintahkan Pos Gurage untuk melepaskan Anggen dan Telenggen.

Namun, perintah itu tidak dipatuhi Pos Gurage yang saat itu dikomandani Serda Irwan (Komandan Pos Gurage Letnan Satu Sudarmin sedang diperbantukan ke Pos Yambi). Bahkan, mereka malah menyiksanya. (ICH)

http://regional1.kompas.com/read/2011/01/20/09052098/3.Anggota.TNI.di.Papua.Mengaku.Bersalah



BORDER OPERATION ALREADY A FLOP

BORDER OPERATION ALREADY A FLOP


Papua New Guinea's government has deployed a joint security operation to destroy alleged free West Papua activist training camps along the PNG-Indonesia border.

The government says illegal activities in Vanimo along its side of the border pose a national security threat to its sovereignty.
The joint border security operation comes amid reports Indonesian soldiers have illegally crossed the border in pursuit of Free Papua Movement (OPM) rebels on PNG soil.

The operation codenamed, ''Sunset Merona'' was approved and deployed last week.

Police, defence, Correctional Services, Border and Customs officers are taking part in the operation.

Commander Jerry Frank says the aim is to stop the largely unregulated movement of people and goods across the porous border.

"[Things such as] money laundering, drugs and guns exchanges, human smuggling, items like pornographic materials," he said.

He says authorities are particularly keen to prevent members of the secessionist Free Papua Movement crossing into PNG.

But the police chief in West Sepik province, Chief Inspector Sakawar Kasieng, says the operation is politically motivated.

He says there are no illegal activities such as the entry of political activists from the Indonesian province of Papua into PNG.

"People cross [the border] at all times, I mean people across the border want to go to the other side. There is a normal trade route, but then the military build up, military cross over or opium fight back. They fight on their own soil, they don't fight in Papua New Guinea."

Chief Inspector Kasieng says those resources should be given to boost Vanimo based police and border officials to carry out routine patrols along the border.

"They should give money to act, to the military here, the police on the ground who can do the job."

But PNG's local MP for Vanimo, Belden Namah, says illegal activities along the PNG-Indonesia border are an on-going problem.

Mr Namah says it's a real national security threat to his people and the country.

He says the PNG government should find a long term solution to the border problems.

Mr Namah wants a permanent border security post established on PNG side of the border.

"Yes we do have incursions by Indonesian soldiers. We do have opium elements and presence along the border, there's an increase in the illegal trade of firearms, drugs, human trafficking.

"So my answer to that would be we improve the security at Wutung border, put permanent policemen, infantry personnel, immigration, customs, quarantine manning the place. Not just a one off operation," he said.

The operation is due to run for six weeks.

So far, Operation Sunset Merona started badly with a stand-off between Vanimo and Port Moresby police officers on the operations.

A Vanimo traffic police officer was allegedly bashed by officers from Port Moresby over allegations he was driving an unregistered vehicle.

Local officers have closed the Vanimo police station in protest over the incident.
 
 
 

Selasa, 18 Januari 2011

UU PERDASUS MRP TAHUN 2010 KACAU


Semua Manusia Asli

Semua manusia asli, tidak manusia ada yang palsu. Maka dengan sendirinya terma Orang Asli Papua menurut tata bahasa sesungguhnya rancu dan salah karena semua manusia asli. Secara terminologi asli lawan kata dari palsu. Terma asli dan palsu dalam ketatabahasaan penggunaannya dimaksudkan pada benda dan kata sifat bukan pada manusia. Misalnya Celana Jeans Lea asli buatan Amerika, jam Rolex atau jam tangan merk Seiko asli buatan Jepang dsb. Kita jarang menyebut kata asli bagi manusia. Kata asli secara ketatabahasaan salah kalau dimaksudkan bagi manusia. Karena logikanya jika manusia ada asli maka pasti ada manusia palsu. Tapi pertanyaannya apakah ada manusia yang palsu? Tentu saja jawabannya tidak ada. Semua manusia asli. 

Dalam antropologi berbagai kebudayaan didunia masing-masing suku-bangsa ada keyakinan bahwa mereka menganggap dirinya sebagai manusia superior (manusia sejati) dan selainnya inferior (rendah). Demikian hampir seluruh suku bangsa di Papua menganggap dirinya manusia superior, sebagai misal konsep manusia Anim Ha di Merauke. Pada Suku Dani Lembah Balim dengan konsep Apuni (manusia sejati) dst. Tidak hanya di Papua orang Jawa menyebut orang diluar suku mereka dengan sebutan Orang Sebrang. Yang dimaksudkan dengan Orang Sebrang pengertiannya hampir sama dengan kebalikan dari konsep pengertian Suku Dani Apuni berarti diluar suku Jawa orang Jawa menganggap kurang berbudaya (inferior).

Hitler dari Jerman misalnya dengan keyakinan ras Aria sebagai yang paling superior dianggap paling keliru melakukan proses helecous pada warga Yahudi adalah pelanggar HAM terberat abad 20 lalu yang menyebabkan ribuan nyawa orang Yahudi menjadi korban sia-sia atas keyakinan palsu itu bagi umat manusia. Karena itu UU Perdasus MRP tentang penggunaa kata orang Asli Papua secara tata bahasa bukan saja melanggar nilai-nilai HAM dan demokrasi universal tetapi juga secara filsafat hermeneutic kalimat ini salah apalagi kalau itu sebagai UU sebagai hukum tertinggi. Bukan hanya itu lebih tapi batasan orang Papua Asli dalam UU Perdasus harus jelas dimana batasannya adalah urgensinya catatan ini ditulis mau dimaksudkan disini. 

UU Perdasus MRP Rancu

Penggunaan terminologi dalam pembuatan UU Perdasus MRP tahun 2010 dan didalam pasal-pasalnya banyak terdapat kerancuan antara satu pasal dan pasal lainnya. Karena itu harus dikoreksi agar kita jangan sampai dengan alasan waktu mepet pemerintah Propinsi Papua seakan tak mau tau dan tidak berdaya memperbaiki itu tanpa melibatkan akademisi, intelektual, mahasiswa dan masyarakat umum tapi tetap saja mau dilaksanakan sesuai agenda radiogram Mendagri tanpa sosialisasi memadai kepada rakyat Papua. Jika Pemerintah Propinsi dan Mendagri tetap buru-buru melaksanakan rekruitman anggota MRP maka hasilnya tidak aka nada perbaikan nasib Rakyat Papua di era Otonomi Khusus kedepan.

Seharusnya Mendagri dan Pemerintah Propinsi Papua perjelas dulu nasib 11 kursi DPRD Keputusan Mahkamah Konstitusi yang dimenangkan Barisan Merah Putih (BMP) atas nama rakyat Papua itu bagaimana penetapan dan segera melakukan pelantikan. Pemerintah seharusnya didahulukan dulu 11 kursi DPRP karena masa aktif kerja DPRP sudah lewat dan telat satu tahun terhitung PEMILU tahun 2009. 

Karena mengingat Papua belum memiliki Partai lokal sebagaimana Otonomi Khusus Aceh, maka rasionalisasinya 11 jatah kursi DPRP Papua dan 9 jatah DPRP Papua Barat harus dijatah untuk diangkat tanpa mekanisme Partai Politik melalui PEMILU, namun hingga detik ini belum dilantik dan ditetapkan oleh Mendagri bagaimana aturan mekanismenyasejak Putusan MK, anehnya malah pemilihan anggota MRP didahulukan apa maksud sebenarnya dibalik ini semua? Apakah karena ada desakan KONGRES AS melalui Dubesnya di Jakarta sehingga Pusat (Mendagri) menjadi takut sehingga mengikuti keinganan Amerika? 

Wallahu'alam.

Putusan MK jatah 11 kursi DPRP Papua dan 9 kursi DPRP jatah Papua Barat setahun lalu harusnya sudah lama dilantik untuk masa kerja 2009-10114, tapi pada kenyataannya sampai detik ini belum dilantik dan Mendagri dan Pemerintah di kedua Propinsi belum melaksanakan tugasnya itu adalah hal aneh bin ajaib.

Sosialisasi pemilihan MRP petugas yang datang ke daerah-daerah selama bebberapa hari dari jadwal waktu ditetapkan beberapa bulan itu kenyataan dilapangan hanya pertemuan dengan pejabat pemerintah di Kabupaten-Kabupaten di kedua Propinsi Papua-Papua Barat. Karena itu sosialisasi pemilihan anggota MRP sesungguhnya sangat tidak memadai ditambah bagaimana nasib 11 kursi DPRD Papua tidak jelas jadi terkesan semua serba instan dan buru-buru. Nampak diamati dari jarak dekat bahwa proses rekruitman anggota MRP sembunyi-sembunyi dari hotel ke hotal semacam kerja LSM. 

Panitia yang ditunjuk pemerintah nampak terkesan sangat tidak siap melaksanakan pemilihan anggota MRP selain hanya mengejar target dead line Mendagri hasilnya maka tingkat partisipasi rakyat Papua sama sekali sangat kurang atau memang sengaja Panitia penyelenggara rekruitmen anggota MRP tahun 2009 dengan mekanisme manipulasi? Padahal masa berakhir anggota MRP bulan Oktober diundur 3 bulan malah hasilnya sama saja tidak banyak kemajuan. Akhirnya tidak aspiratif atau penuh manipulasi dan rekayasa oknum berkepentingan. 

Tapi mengapa seakan pemerintah tetap saja memaksakan kehendak pemilihan MRP dahulukan dari 11 kursi DPRP Papua-Papua Barat? Siapapun tidak sanggup dengan keterbatasan waktu sosialisasi perhelatan pemilihan anggota MRP kalau tidak sesungguhnya pemerintah Propinsi Papua melanggar hak konstitusi rakyat Papua hanya karena alasan radiogram Kementerian Dalam Negeri RI, karena itu tetap memaksakan pelaksanaan MRP tanpa persiapan dan sosialisasi memadai.

Jangankan mau sosialisasi memadai UU Perdasus-nya sendiri tanpa uji public misalnya melibatkan akademisi, mahasiswa/i, intelektual dan masyarakat umum senyatanya pemerintah Propinsi Papua melalui Kesbang Papua memaksakan diri tetap mau melaksanakan pemilihan MRP dalam bulan ini juga. Kesbang Papua melaksanakan perhelatan pemilihan MRP layaknya kerja-kerja semisal kerja LSM. Hasilnya bisa ditebak selain tidak berkualitas penuh panipulasi dan rekayasa pada akhirnya, seperti adagium orang Jawa bobot, bibit dan bebet anggota MRP banyak sebagai wakil Adat diintervensi kepentingan pemerintah. Padahal MRP adalah kursi Adat bukan lain dan untuk kepentingan siapa apalagi pemerintah sebaiknya MRP hadir agar bisa melindungi kepentingan dan hak-hak dasar masyarkat Adat Papua.

Masyarakat Pribumi Papua, sejak Otsus Papua paling tidak diuntungkan oleh berbagai factor. Rakyat Papua mayoritas diam  dan jarang dilibatkan dalam berbagai proses keputusan apapun atas nama kepentingan orang Papua. Semua itu dimanipulir segelintir kelompok orang dari LSM  dan Ormas atas persetujuan atau karena kedekatan mereka mengakses ke Pemerintah. Karena begitu maka macam begini kedepan harus diperbaiki.
Hal begini ini kedepan dicermati bersama karena obyek yang jadi perhatian untuk dilindungi dimaksudkan dalam UU itu sendiri tidak dilibatkan dalam semua proses maka sejumlah semua manupulasi dan rekayasa beberapa Ormas/LSM dengan pemerintah Misalnya UU Perdasus MRP tanpa uji public hasilnya sudah dipastikan merugikan masyarakat Adat Papua. Padahal tujuan awal melindungi hak-hak politik, sosial, ekonomi, budaya mereka tapi sebaliknya justeru semakin memarjinalkan.

UU Perdasus tentang MRP dalam kenyataannya yang sudah disahkan oleh DPRP Propinsi Papua pada tanggal 24 November tahun 2010, setelah diamati isi pasal-perpasal dan ayat per-ayat ternyata didalamnya banyak dijumpai kelemahan bahkan sangat merugikan masyarakat Adat Papua. Pertanyaannya; MRP milik siapa? Bukankah institusi ini lahir dari kenyataan suatu situasi deadloc komunikasi politik antara Jakarta dan Papua oleh akibat keinginan rakyat Papua keluar dari NKRI? Maka jalan tengah kebuntuan dialog antara kedua bela pihak berseberangan ideologi itu, antara pemerintah pusat dan wakil rakyat Papua (PDP), maka secara benevolence dictatorshif pemerintah Pusat meresmikan institusi MRP sebagai refresentasi cultural rakyat Papua sebagai Indonesia atas eksistensi masyarakat Adat Papua yang unik.

Mengapa banyak pasal dan ayat-ayat didalamnya tidak berpihak pada rakyat Papua yang mau dilindungi hak-haknya itu bisa lolos dan tetap disahkan? Apakah wakil-wakil rakyat Papua di IMBI tidak satupun bisa paham? Mengapa UU bisa lolos dan malah ketuk palu oleh pimpinan sidang padahal antara satu pasal dan pasal lain banyak tumpang tindih bahkan banyak ayat dalam Pasal misalnya BAB 2 Ayat 2 tentang persyaratan MRP pada poin A,B dan C irasional alias tidak masuk akal.

Padahal UU suatu bangsa adalah pijakan hukum tertinggi dalam rangka, menertibkan, mengatur dan mengelola suatu masyarakat demokratis. JIka tidak kalimat utopia Papua Zona Damai jauh dari harapan kenyataan. Penting mau diingatkan disini adalah bahwa MRP adalah kursi Adat bukan kursi politik apalagi kursi atau jabatan profesi. Kalau begitu syarat wakil MRP unsur Agama syaratnya harus S1 sedangkan unsur Adat dan Perempuan boleh SMA/sederajat logikanya dimana pasal soal syarat ini bagi kita?

Orang Asli Papua? 

Istilah orang Asli Papua diskriminatif dan tidak demokratis bila ditinjau dari perspektif  HAM dan demokrasi modern ataupun  dimensi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana Pancasila dan diajarkan semua agama. Apakah ada manusia palsu? Kalau mau dimaksudkan sebgai bagian dari proteksi politik bagi penduduk Pribumi Papua maka istilah Orang Asli Papua harus ditinjau ulang. Karena itu, saya usul disini agar kata-kata :"orang Papua asli" dalam UU Perdasus tahun 2010, diganti dengan terma : "orang pribumi Papua, yang lebih demokratis dan dapat dipahami semua lapisan masyarakat warga Papua dengan baik.

Istilah orang asli Papua adalah istilah pejoratif yang merendahkan martabat manusia tidak sesuai dengan Pancasila sila 2, 'Kemanusiaan yang adil dan beradab', padahal yang harus menjadi penekanan sesuai semangat dan tujuan UU Otsus Papua lebih pada aspek keadilan sosial sila ke 5 Pancasila yakni : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Papua dalam kerangka nasionalisme Papua dalam Indonesia. UU adalah dasar hukum tertinggi dalam suatu pemerintahan.

Jika dianalisa secara cermat dengan menggunakan filsafat hermeneutik, orang asli Papua seakan-akan mengesankan yang lain manusia palsu, walaupun terminologi bahwa yang dimaksud orang Papua asli tidak bermaksud yang lain manusia palsu. Karena pada hakekatnya semua manusia Asli dan tidak ada manusia palsu atau asli. Semua manusia asli.

Karena itu para ahli filsafat psikologi yang bersibuk diri meneliti tentang watak manusia sejatinya makhluk Tuhan yang bernama manusia adalah makluk yang senantiasa "membelum"(be coming) atau  "menyedang"(prossesing) terus menerus. Hewan berakal yang disubut manusia itu senantiasa tanpa kesempurnaan adanya ("al-insanu makaanul khotho' wannisyaan" : 'Manusia adalah tempat salah dan lupa' menurut Nabi Muhammad SAW. Jadi hakikat sesungguhnya siapapun kita manusia, saya-kamu-dia-kami-mereka tanpa pernah ada kesempurnaan paripurna (par exelence).

Kalau kita meminjam istilah Driyakara manusia adalah makhluk "menyedang" atau "membelum" senantiasa dari generasi kegenerasi tanpa kesempurnaan paripurna. Jadi manusia adalah makluk yang senantiasa berencana dari masa kini ke masa depan, penyempurnaan tanpa kesempurnaan. Manusia dengan akalnya senantiasa merangcang dari masa kini kemasa depan lebih baik (Respondeo Ergo Sum). Affirmatif action tidak lain proteksi politik bagi rakyat Papua, karena itu konklusi logika pikir ini dimaksudkan bahwa UU Perdasus MRP secara ketatabahasaan maupun antara satu Pasal lain antara satu ayat dan ayat lain banyak mengandung kerancuan harus disempurnakan.

*Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua (FKMPTP). Kontak HP : 081383418655



Makam Korban Penembakan Dibongkar TNI

Muhammad Ridwan
Makam Korban Penembakan Dibongkar TNI


18/01/2011 14:10
Liputan6.com, Merauke: Polisi dan TNI membongkar makam bapak dan anak yang tewas ditembak TNI di perbatasan RI-Papua Nugini, Selasa (18/1). Istri korban, Basik Basik serta sang adik, Stefanus Basik, tak kuasa menahan tangis sesaat sebelum makam dibongkar.

Polisi terpaksa kembali membongkar makam keduanya untuk kepentingan penyelidikan. Dengan pengawalan ketat dari polisi dan TNI, pembongkaran makam ini tidak dihadiri banyak orang.

Klemens Basik Basik dan Amandus Basik Basik ditembak mati petugas TNI setelah keduanya berusaha merampas senjata petugas yang sedang berjaga di perbatasan RI-Papua Nugini. Hingga tulisan ini dususun, belum diketahui dengan jelas kenapa bapak dan anak ini berusaha merampas senjata.



************
(lead)
Hari ini / polisi dan tni membongkar makam bapak dan anak yang tewas di tembak tni di perbatasan ri - papua nugini/// isak tangis keluarga sambil menyaksikan pembongkaran makam/// bapak dan anak ini ini ditembak mati tni/ setelah mencoba merebut senjata petugas jaga//



*cg judbaru makam penembakan dibongkar
Merauke, papua

Istri korban basik basik dan adik korban stefanus basik basik tidak kuasa menahan
Tangis/ sesaat sebelum makam korban dibongkar polisi untuk kepentingan otopsi  // dengan pengawalan ketat dari polisi dan tni / pembongkaran makam ini tidak dihadiri banyak orang //

Polisi terpaksa kembali membongkar makam keduanya / untuk kepentingan penyelidikan // klemens basik basik dan amandus basik-basik ditembak mati petugas tni / setelah keduanya berusaha merampas senjata petugas yang sedang jaga di perbatasan ri - png // tidak diketahui dengan jelas kenapa bapak dan anak ini berusaha merampas senjata // and

Muhammad ridwan melaporkan dari merauke papua//



Pembentukan MRP Ditolak

                                                          Otsus Dinilai Gagal
                                          Pembentukan MRP Ditolak
Rabu, 12 Januari 2011 | 15:21

[JAYAPURA] Sejumlah organisasi di Papua menolak pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pasalnya, rakyat Papua, dalam musyawarah besar mereka pada 9-10 Juni 2010 lalu, menganggap otonomi khusus (Otsus) Papua gagal. Karena itu diperlukan mediasi oleh pihak ketiga untuk berdialog dengan Jakarta mengenai masa depan Papua.

Demikian benang merah wawancara SP dengan sejumlah kelompok di Jayapura, Kamis (12/1) sore.

Menurut Alius Asso dari Solidaritas Hukum dan Demokrasi Rakyat Papua, Otsus diberikan kepada rakyat Papua karena Papua ingin merdeka, namun dalam perjalanannya Otsus tidak mensejahterahkan rakyat Papua. Muncul kesan, Otsus Papua hanya untuk orang-orang tertentu.

Sedangkan Jack Wanggai dari  West Papua National Outority menambahkan, Otsus sudah gagal dan rakyat inginkan dialog dengan Jakarta. ‘’Kenapa pemerintah bisa berdialog dengan kelompok ingin merdeka di Aceh, sementara di Papua tidak bisa dilakukan,’’ ujarnya saat dihubungi SP.

Sementara Usman Yagobi dari Koalisi Rakyat Papua  Bersatu untuk Kebenaran mengatakan, sejak awal kehadiran Otsus sudah ditolak rakyat Papua tetapi terus dipaksakan dilaksanakan. Hasilnya Otsus tetap gagal. ‘’Kalau sudah gagal, tidak usah lagi dipaksakan, tidak usah bentuk MRP lagi. Yang perlu adalah buka ruang dialog untuk membicarakan nasib bangsa Papua,’’ ujarnya.

Kata dia, kalaupun proses pemilihan anggota MRP terus dilakukan dan mereka dilantik sesuai jadwal 31 Januari 2011, menurut Jack, hasilnya tidak sah dan  tidak diakui  oleh rakyat Papua, karena pada dasarnya orang Papua sudah menganggap Otsus sudah berakhir seiring dengan diserahkannya hasil Mubes rakyat Papua dan MRP.

Sebelumnya Dewan Adat Papua (DAP) menolak memberikan rekomendasi untuk calon anggota MRP yang akan mewakili kelompok adat.‘’Dalam menghadapi proses rekruitmen anggota MRP, pleno khusus Dewan Adat Papua menegaskan bahwa DAP menolak Otonomi Khusus melalui demo penolakan 12 Agustus 2005 lalu, dan dalam musyawarah orang asli Papua dan MRP 9-10 Juni 2010 dihasilkan bahwa Otsus gagal total mensejahterahkan orang asli Papua, tetapi otonomi khusus justru mengancam hak hidup pada kepunahan secara perlahan, maka DAP menyatakan tidak terlibat memberikan rekomendasi dalam rekruitmen calon anggota MRP,’’ ujar Dominikus Sorabut yang membacakan pernyataan sikap DAP. [154]
 
 

PIMPINAN GEREJA-GEREJA DI TANAH PAPUA



PIMPINAN GEREJA-GEREJA DI TANAH PAPUA
Sekertariat: Sinode GKI di Tanah Papua Jl. Argapura No. 9 Argapura
Jayapura-Papua 99222

 

Jayapura, 14 Januari 2011


PANDUAN AKSI ‘DEMONSTRASI BISU: STOP PEMILIHAN MRP’
24-28 JANUARI 2011

I.          Tema Besar:

“Stop Pemilihan MRP,  Jawab 11 Rekomendasi MUBES MRP”


II.          Philosofi & Theologi Perjuangan: Gal. 4:16

“Apakah dengan menyatakan kebenaran kepadamu, aku telah menjadi musuhmu?”  

Keterlibatan gereja dalam memperjuangkan penegakkan Hak-Hak Dasar Orang Asli Papua tidak hanya dalam rangka mewujudkan peran kenabiannya dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan, melainkan keterlibatan gereja dilakukan berdasarkan fakta historis dimana Gereja sebagai lembaga pastoral berpihak kepada penderitaan sebagian besar Orang Asli Papua. Keterlibatan gereja adalah bukti nyata pertanggungjawaban Iman Gereja. Gereja dengan misi penginjilan telah menjadi kekuatan nurani bangsa Papua dalam seluruh pergulatan hidupnya. Gereja memiliki peran penting dalam hidup Orang Asli Papua.

Gereja merupakan institusi sosial yang mula-mula berinteraksi dengan Orang Asli Papua, Gereja pula yang pertama-tama memperkenalkan dunia luar dan peradaban lain kepada orang Papua. Gereja juga telah turut membentuk kebudayaan, pola hidup dan pola laku Orang Asli Papua hingga generasi dewasa ini. Maka, peran signifikan ini jangan dibatasi semata-mata hanya pada peran sejarah lembaga Kekristenan di Tanah Papua dalam arti pencerahan spiritual semata, melainkan Gereja masa kini perlu tampil ke depan mengambil ahli kehidupan, mengambil tanggung jawab menyuarakan kebenaran demi sebuah emansipasi pergumulan hidup Orang Asli Papua, melangkah seiring-sejalan dalam menggapai HARAPAN akan masa depan yang lebih baik, sebagaimana ajaran Tuhan Yesus yang diwartakan seabad lalu di Tanah Papua.

Gereja akan menjadi kuat dan kokoh di atas Tanah ini, apabila didukung dengan adanya kesejahteraan lahir dan bathin Orang Asli Papua sebagai Jemaatnya. Pertanyaan kritis bagi kita adalah persekutuan macam apa yang Gereja kita bangun saat ini sehingga ada diantara kita yang merasa tersingkir dan mau punah di atas tanahnya sendiri.

III.            Pokok-Pokok Keprihatinan Aksi:
-          Pelaksanaan OTSUS tidak murni dan konsekuen
-          Genocida
-          Pelanggaran HAM
-          Marjinalisasi ORPA
-          Perampasan kekayaan alam
-          OTSUS mengekang hak berdemokrasi & kebebasan berekspresi
-          Monopoli sektor ekonomi oleh migran

IV.            Bentuk Kegiatan
-          Demonstrasi Bisu (Silent Demonstration): tanpa suara, tanpa orasi, pekikan atau yel-yel lainnya
-          Longmarch keliling kota Jayapura, dimulai dengan massa berkumpul di halaman Kantor Klasis GKI Jayapura, Gereja Pengharapan dan Kantor Sinode KINGMI

V.            Dasar Pertimbangan Aksi
-          Hasil MUBES MRP tanggal 9-10 Juni 2010
-          Penyerahan hasil MUBES tanggal 18 Juni  2010 ke DPRP Papua dan Papua Barat
-          Komunike Bersama Pimpinan Gereja tanggal 10 Januari 2011 tentang penolakan gereja terhadap pemilihan MRP
-          Suara dan tuntutan rakyat Papua yang terus-menerus tidak didengar oleh pemerintah, baik di Tanah Papua dan pemerintah pusat di Jakarta

VI.            Tujuan Kegiatan
-          Gereja menyadari peran dan suara Kenabian-nya
-          Menagih jawaban DPRP dan pemerintah terhadap 11 rekomendasi Musyawarah MRP – Orang Asli Papua
-          Menjaga Kekristenan di Tanah Papua
-          Membangun kesadaran bahwa perjalanan hidup Bangsa Papua selalu ada dalam rencana Tuhan dan perlu terus diperjuangkan
-          Memihak yang lemah dan tertindas, karena di situ ada wajah Yesus

VII.            Prinsip dan Metode Aksi
-          Prinsip: Menjunjung tinggi perjuangan damai, tanpa kekerasan
-          Metode: Aksi Pawai Damai keliling kota Jayapura

VIII.            Lokasi  Aksi dan  Rute   
a).    Lokasi Aksi Jayapura:  Imbi, Jl. Koti, Jl. Achmad Yani, Jl. Percetakan, Jl. Sam Ratulangi, halaman Kantor DPRP Provinsi Papua.
b).   Rute: massa mulai bergerak dari kantor Sinode KINGMI, berjalan sambil membawa poster dan spanduk-spanduk dengan menyanyikan lagu-lagu rohani, kemudian menjemput massa dari titik kumpul Gereja Pengharapan Jayapura, dan menjemput massa lainnya di kantor Klasis GKI. Dari sana massa berjalan memutar Jl. Koti menuju Jl. Achmad Yani, memutar mata jalan Paldam menuju Jl. Percetakan, Jl. APO, memutar balik di lampu merah Dok II kemudian massa berjalan menuju Kantor DPRP Papua.
c).    Aktivitas yang dilakukan selama berdemo:
-       Selama pawai/longmarch, massa berjalan dalam sikap DIAM sambil memegang pesan-pesan pada spanduk, poster dan leaflet;
-       Saat berkumpul di DPRP, diisi dengan menyanyikan lagu-lagu rohani dan doa keprihatinan kemudian massa membubarkan  diri.

IX.            Waktu  Demo:
            a). Waktu: 24-28  Januari 2011
            b). Lama: 6 jam tiap hari (mulai jam 10. 00 s/d.16.00 waktu Papua)
            c). Tempat:  1. Jayapura: kantor DPRP Provinsi Papua
         2.  Kota-kota di luar Jayapura: disesuaikan dengan kondisi setempat

X.            Bentuk Demo: PAWAI BISU (pawai tanp orasi, yel-yel dan bentuk keributan lainnya)

XI.            Peserta  Demo :   Pendeta-Pendeta, pelayan  jemaat  (Gembala),  majelis  jemaat, warga  jemaat  yang  terdaftar. Jumlah  peserta dari masing-masing  jemaat  minimal sebanyak 200  orang .
           

XII.            Tata Tertib  Peserta  Demo :

1.         Selama demo berlangsung peserta demo diwajibkan memakai  tanda pengenal  yang  disiapkan oleh panitia demo (TIM yang ditunjuk Pimpinan Gereja-Gereja).

2.         Peserta demo wajib menjaga keamanan  dan keselamatan dirinya dan  peserta demo lainnya, dengan dikoordinir oleh masing-masing Korlap.

3.         Peserta demo dilarang membawa atribut yang berhubungan dengan Bendera Bintang Kejora.

4.         Peserta demo tidak diperkenankan  membawa senjata  tajam  atau benda-benda yang membahayakan  sesama peserta demo dan orang lain.

5.         Peserta demo dilarang  mengkonsumsi  minuman  beralkohol  atau membawa minuman beralkohol selama demo berlangsung.

6.         Peserta demo  dilarang mengeluarkan  kata-kata / ucapan  yang  menghujat / menghina  umat  atau agama lain, dan diminta tidak terpengaruh oleh provokasi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab (peserta  atau  penonton  demo).

7.         Peserta demo  dilarang  merusak/melempari  fasilitas umum/bangunan/ kantor  atau  tempat ibadah pada rute jalan  yang  dilalui. 

8.         Peserta demo wajib menjaga  tertibnya demo  dan  mentaati petunjuk yang dikeluarkan  oleh  Korlap  dan atas koordinasi dengan  aparat kepolisian.

9.         Selama  demo  berlangsung  peserta  dilarang  memisahkan diri  dari barisan jemaatnya agar memudahkan pengamanan dan koordinasi  dengan  Korlapnya masing-masing.

10.     Bagi peserta demo yang  membuat  kekacauan, membawa alat tajam, dan  mabuk-mabukan, akan diamankan  oleh penanggung jawab aksi dan selanjutnya diserahkan kepada pihak kepolisian.

11.     Hal-hal lain  yang belum diatur dalam tata tertib ini, akan  diatur kemudian  sesuai kondisi  di lapangan .   

XIII.            Titik Kumpul
1.      Gereja Pengharapan Jayapura
2.      Kantor Klasis GKI di depan Imbi
3.      Kantor Sinode KINGMI, APO

XIV.            Penanggung jawab dan Pelaksana
1.      Pimpinan Gereja-Gereja di Tanah Papua
2.      Tim Kerja

XV.            Penutup
Demikian kerangka acuan ini untuk dapat menjadi pegangan berbagai pihak dalam mendukung terlaksananya agenda aksi ini. Bila terdapat berbagai hal yang tidak jelas, dapat menghubungi tim kerja pada nomor kontak yang terlampir berikut:
1.               Pdt. S. Titihalawa, S.Theol.    : 081344751677
2.               Ev. Dominggus Pigay, S.IP    : 082197758779
3.               Pdt. Em. Herman Awom        : 081315491254
4.               Frederika  Korain SH              : 085254333357



TEMA-TEMA SPANDUK, PAMFLET DAN POSTER

1.       Otsus Gagal, Kami mau dialog yang difasilitasi pihak netral
2.       Segera Jawab Hasil Mubes MRP
3.       Stop pemilihan MRP rekayasa
4.       Stop pemilihan MRP boneka
5.       DPRP dan Gubernur stop tipu rakyat yang memberimu kursi dan uang
6.       Gubernur  jangan pandai pidato saja
7.       DPRP, Gubernur dan Bupati-Bupati/Walikota segera kembalikan Otsus
8.       Gubernur, DPRP dan Bupati-bupati/walikota stop jual harga diri kami demi uang laknat Otsus
9.       Otsus Memusnahkan orang Papua
10.   Hai Bangsa Papua, Jangan Jual hak kesulunganmu demi sepiring kacang merah
11.   Tunduk tertindas atau bangkit melawan
12.   Stop mengeruk kekayaan alam kami
13.   Stop bunuh umat kami yang tak berdosa
14.   Stop genoside di Papua
15.   Hentikan arus imigran di Papua
16.   Mengapa engkau bunuh Arnold AP?
17.   Mengapa engkau bunuh Theys Eluay?
18.   Mengapa engkau bunuh Keli Kwalik?
19.   Mengapa engkau bunuh Opinus Tabuni?
20.   Mengapa engkau bunuh Obeth Badii?
21.   Mengapa engkau bunuh Tom Wanggai?
22.   Mengapa engkau bunuh Yawan Wayeni?
23.   Mengapa engkau siksa Kideman Gire, dkk?
24.   Mengapa engkau bunuh Miron Wetipo?
25.   Mengapa engkau tahan Philep Karma, Buctar Tabuni, dkk?
26.   Mengapa kamu bunuh kami punya orang-orang di Wasior?
27.   Mengapa kamu bunuh kami punya orang-orang di Biak?
28.   Mengapa kamu bunuh kami punya orang-orang di Miyei?
29.   Dimana Permenas Awom disembunyikan?
30.   Mengapa Timika terus bergejolak?
31.   Mengapa Mama-mama kami berjualan beralaskan tanah berbecek beratapkan langit sementar a Perempuan amber duduk di tempat-tempat yang layak dan swalayan-swalayan?
32.   Dan lain-lain (semua peristiwa kelabu yang dialami oleh keluarga-keluarga kita di masa lalu danmasa kini bisa dibuat dalam bentuk poster atau pamflet)