Jumat, 14 Januari 2011

Uskup Nicholaus Tidak Dukung Investor Asing MIFEE

Tribunnews.com - Jumat, 14 Januari 2011 17:42 WIB
S
Tribunnews.com, Domu d Ambarita

TRIBUNNEWS.COM, MERAUKE - Uskup Agung Merauke Nicholaus Adi Seputra MSC meluruskan berita yang menyebutnya mendukung megaproyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di atas 1,28 juta hektare di Merauke, Papua. Menurutnya investor memang perlu didatangkan membangun Merauke, tetapi syaratnya harus melibatkan dan memajukan warga setempat.

Beberapa waktu yang lalu, kata Uskup Nicholaus, di banyak tempat sudah ramai dibicarakan di email berita yang menyebut Uskup Agung Merauke memaksa rakyat untuk terima investasi di merauke.

Dia mengaku mendengar informasi samar-samar tentang hal itu, dan tidak pernah tahu berita lengkap yang dibicarakan di mana-mana. Barulah awal tahun ini, 1 Januari 2011, kata Uskup Nicholaus dalam surat yang ditulis 12 Januari 2011, ada seorang sahabatnya yang meneruskan email itu kepadanya, sehingga mendapatkan email itu secara utuh.

Berita itu membeberkan bahwa pihak Gereja Katolik, dalam hal ini, Uskup Agung Merauke, harus bertanggung jawab atas penderitaan orang Papua. Seolah dibenturkan, menurut rumor itu, saat orang Papua menolak dan tidak hendak menerima investor asing atas Program Pemerintah Indonesia, justru uskup Merauke memaksa rakyat Papua di Merauke untuk menerima proyek ini.

"Sejauh saya tahu dan sejauh saya ingat, Bupati John Gluba Gebze, DPRD dan Dinas-dinas terkait, para tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama, tidak pernah duduk bersama untuk rapat koordinasi dalam rangka membahas hal-hal penting tentang para investor," kata Uskup Nicholaus dalam pernyataan yang diterima redaksi Tribunnews melalui surat elektronik (email), Jumat (14/1).

Menurut Uskup, tidak pernah dibahas berapa luas tanah yang diperlukan, berapa besar ganti rugi, dan bagaimana keterlibatan pelbagai pihak atas masuknya para investor itu. Yang ada adalah, sekitar tahun 2006, informasi Merauke akan dijadikan kota agropolitan, agro wisata dan agro industri.

"Kemudian muncul berita dalam 1- 2 tahun terakhir ini, bahwa Merauke dipilih untuk menjadi tempat untuk program MIFEE. Apa isi program MIFEE, siapa yang terlibat dan dilibatkan, instansi mana yang akan menangani, semuanya kabur bagi saya. Yang pasti, saya tidak pernah hadir dalam rapat-rapat mereka," kata Uskup Nicholaus.

Diinformasikan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) pada 10 Maret 2008. Dalam PP itu disebut, areal MIFEE telah dikapling sebagai kawasan andalan, terutama sektor pertanian.

Kemudian, pemeritah mencanangkan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di atas lahan 1,28 juta hektare. Kawasan ini diplot menjadi 10 klaster dan tersebar di 16 distrik. Delapan di antaranya berada di Kabupaten Merauke, sisanya masuk distrik Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digoel, Papua.

Greenomics Indonesia, baru-baru ini melansir hasil surevei yang menyebut sebagian besar lahan atau sluas 1.157.347,5 hektare kawasan MIFEE berada di hutan kasan hutan. Hanya kurang dari 10 persen, atau 125.485,5 hektare dari 1,28 juta hektare yang bukan hutan.

Uskup mengatakan, dia tidak pernah tampil untuk mempromosikan program ini. "Karena bagi saya semuanya belum/tidak jelas," ujarnya sembari menyebut menyadari Merauke perlu banyak investor.

"Pemkab Merauke tidak akan mungkin dapat membangun masyarakat dengan kekuatannya sendiri. Pemda membutuhkan investor. Saya pun memahami dan mendukung hadirnya investor. Namun belum pernah ada investor yang berunding bersama sampai tuntas dan tertulis tentang hal-hal yang amat pokok dan penting untuk kemajuan bersama, terlebih untuk membangun masyarakat lokal secara berkesinambungan dan untuk jangka waktu panjang," imbuh Uskup, jabatan untuk pimpinan gereja Katolik lokal.

Kepada para investor yang telah ada, Uskup mengaku menanyakan dan meminta fotokopi surat kontrak moral-sosial dengan masyarakat lokal. Isi surat kontrak itu adalah kerelaan dan kepedulian para investor untuk mengembangkan SDM setempat melalui bidang pendidikan, kesehatan dan pengembangan infrastruktur dan sosial ekonomi. Namun sampai hari ini, surat kontrak yang dia minta itu tidak pernah ada, meski secara lisan mereka menyanggupinya.

Kemudian, katanya Keuskupan Agus Merauke sudah sejak dulu, tahun 1905, berarti sudah lebih dari 100 tahun memberikan penyadaran kepada masyarakat. Misalnya, tentang hak-hak azasi manusia, pentingnya tanah untuk generasi mendatang, pelestarian hutan dan lingkungan hidup, perlunya pendidikan dan peningkatan kesehatan serta penyediaan air bersih.

Tentang Demonstrasi yang terjadi tanggal 25 November 2010 di Merauke. Dikesankan di dalam tulisan itu, bahwa Uskup hadir di Gedung DPRD Merauke dan melawan para demonstrans itu.

"Realita yang ada adalah, tanggal 1-18 November 2010 saya ada di Jakarta dalam rangka Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia dan Rapat KWI. Tanggal 19 - 23 Nov 2010 saya ada di Agats untuk menghadiri pesta 40 tahun Keuskupan Agats. Akibat kesulitan penerbangan, saya harus kembali via Timika, bermalam di Timika dan Jayapura. Saya baru tiba di Merauke tanggal 25 Nov 2010 siang," ujarnya.

Berdasarkan realita itu, menjadi jelas bahwa Uskup tidak ada di Merauke ketika demo itu berlangsung. "Saya juga tidak membuat pernyataan apa pun tentang program MIFEE di depan para demonstran," ujarnya sembari berharap kiranya penjelasannya cukup meluruskan berita miring yang sudah beredar di mana-mana.

Editor: Kisdiantoro

Indonesian prisoner of conscience Buchtar Tabuni

12 January 2011

UA 7/11 Risk of torture or other ill-treatment   

INDONESIA Buchtar Tabuni (m)

Indonesian prisoner of conscience Buchtar Tabuni is at risk of torture or other ill-treatment. He has been moved to an isolation cell, prompting fears for his safety.

Buchtar Tabuni, a peaceful political activist and chair of the West Papua National Committee (KNPB), a pro-independence organization, was moved to an isolation cell at the Jayapura police station in Papua province on 7 January. Buchtar was not informed by the police of the reasons for the transfer. He has fears about his safety and that he might be forced by the police to give a confession. He is also suffering from gastric problems.

In recent years, Amnesty International has reported on a number of peaceful political activists in Indonesia who have been tortured or otherwise ill-treated by police during arrest, detention and interrogation. Furthermore, the Criminal Procedure Code does not explicitly prohibit the use of statements obtained as a result of torture or other ill-treatment in court proceedings.

Buchtar Tabuni and another prisoner Filep Karma were transferred to the Jayapura police station after a riot erupted at the Abepura prison, also in Papua province, on 3 December. The Head of the Jayapura police station said on 4 December that the men were arrested for “allegedly provoking other prisoners which caused damage in the correctional facility”. However, according to reliable sources, they were not involved in the violence and had attempted to mediate between the prisoners and prison guards. Both were denied access to lawyers and family during the first few days of their detention at the police station and there was a delay in providing adequate food to them, which exacerbated Bucthar Tabuni’s gastric problems. On 15 December, an investigation letter from the police identified Filep Karma and Buchtar Tabuni as witnesses to the riot. No charges have been brought against the men with regard to the riots.

As a state party to the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), the Indonesian government has an obligation to ensure anyone who is arrested is immediately told the reason for arrest and promptly informed of the charges; they must be brought promptly before a court and have the opportunity to challenge the detention. An isolation regime intentionally imposed in order to apply psychological pressure on prisoners can become coercive and should be absolutely prohibited.

BACKGROUND INFORMATION
Buchtar Tabuni and Filep Karma have been in prison in the Indonesian province of Papua for their peaceful pro-independence activities for two and six years, respectively. Amnesty International considers both of them prisoners of conscience.
Buchtar Tabuni was arrested in October 2008 for having organized a demonstration in support of the International Parliamentarians for West Papua (IPWP), a coalition of parliamentarians supporting the right to self-determination for Papua. He was sentenced to three years’ imprisonment for inciting hatred against the Indonesian government.

Filep Karma was arrested for organizing a flag-raising event in the town of Jayapura in December 2004. He was convicted of “rebellion” and sentenced in May 2005 to 15 years’ imprisonment. Filep Karma had suffered from health problems before his arrest, but the conditions at the Abepura prison where he has been held and the refusal of the authorities to provide him adequate medical care between August 2009 and July 2010 exacerbated his medical condition. In July 2010 he was allowed to travel to Jakarta for medical treatment.
Amnesty International takes no position whatsoever on the political status of any province of Indonesia, including calls for independence. However the organization believes that the right to freedom of expression includes the right to peacefully advocate referendums, independence or other political solutions.

West Papua and Papua provinces occupy the western half of the island of New Guinea. Papua province borders the independent state of Papua New Guinea. The arrest and detention of people in Papua are part of a larger crackdown on political activists in areas where there has been a history of separatist movements, including Papua and Maluku. The Indonesian authorities have reacted strongly towards individuals who have called for independence. Amnesty International has documented dozens of arrests in past years of such peaceful political activists. Some were sentenced to terms of imprisonment for raising the prohibited pro-independence “Morning Star” flag in Papua.

RECOMMENDED ACTION: Please send appeals to arrive as quickly as possible:
- To immediately remove Buchtar Tabuni from solitary confinement and guarantee that he will not be tortured or otherwise ill-treated while he remains in custody;
- To ensure that Buchtar Tabuni and Filep Karma receive ongoing access to legal counsel, their families and adequate medical care;
- To charge Buchtar Tabuni and Filep Karma with an internationally recognizable criminal offense or immediately and unconditionally release them, as they had been originally imprisoned solely for peacefully expressing their views;
To ensure that all detention and judicial procedures comply with Indonesia’s obligations under the ICCPR.

APPEALS TO:

Inspektur Jenderal Bekto Suprapto
Papua Police Chief
Regional Head of Police (Kapolda)
Jl. Samratulangi No. 8 Jayapura,
Papua, INDONESIA

Fax: 011 62 967 533763
Salutation: Dear Kapolda

Mr. Patrialis Akbar
Minister of Justice and Human Rights
Ministry of Justice and Human Rights
Jl. H.R. Rasuna Said Kav No. 4-5
Kuningan, Jakarta Selatan 12950 INDONESIA
Fax: 011 62 21 525 3095
Salutation : Dear Minister

COPIES TO:

Ambassador Sudjadnan Parnohadiningrat
Embassy of the Republic of Indonesia
2020 Massachusetts Ave. NW
Washington DC 20036

Fax: 1 202 775 5365
Email: http://www.embassyofindonesia.org/contactform/contact-form.php

PLEASE SEND APPEALS IMMEDIATELY.
Check with the AIUSA Urgent Action office if sending appeals after 23 February 2011.

Selasa, 11 Januari 2011

Orang Asli di Papua Barat Cuma 51 Persen

Otonomi Khusus
Warga Kampung Kamaka, Distrik Kaimana, Kaimana, Papua Barat, saat ditemui di sekitar Danau Kamaka, Minggu (15/2/2009). Di kampung ini sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai nelayan dan berladang.
Selasa, 11 Januari 2011 | 14:04 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Ichwan Susanto
MANOKWARI, KOMPAS.com — Selama penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010, Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat juga melakukan penghitungan jumlah orang asli Papua. Hasil suplemen sensus penduduk itu menunjukkan bahwa orang asli Papua di Kepala Burung Pulau Papua berjumlah 51,67 persen dari total 760.000 jumlah penduduk Papua Barat.
Kepala BPS Provinsi Papua Barat Tanda Sirait, Selasa (11/1/2011) di Manokwari, Papua Barat, menjelaskan, selama pelaksanaan Sensus Penduduk 2010 para petugas sensus mendapatkan tambahan tugas, yaitu menanyakan seputar asal suku kepada warga yang didata.
Pendataan orang asli Papua ini merupakan pertama kali dilakukan. Dalam sensus itu, BPS memakai enam kriteria orang asli Papua. Pertama, ayah dan ibu orang asli Papua. Kedua, ayah orang asli Papua dan ibu bukan. Ketiga, ibu orang asli Papua dan ayah bukan. Keempat, orang nonetnis Papua yang secara adat diakui masyarakat Papua sebagai orang asli Papua. Kelima, orang nonetnis Papua yang diangkat atau diakui secara marga atau keret. Keenam, orang yang berdomisili terus-menerus di Papua selama lebih dari 35 tahun.
Dituturkan Tanda Sirait, program suplemen ini hanya dilakukan di wilayah Papua Barat. Pasalnya, BPS Provinsi Papua Barat menjalin kerja sama dengan Pemprov Papua Barat dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, Pemprov Papua Barat hanya memberikan tambahan honor kepada petugas dan menyediakan formulir pertanyaan suplemen.
Adapun ongkos transpor yang banyak menggunakan pesawat perintis dan perahu ke pedalaman sudah ditanggung BPS. "Jumlah orang asli Papua ini tidak sekadar angka. Tetapi, ada data rincian seperti tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Ini akan sangat membantu Pemprov Papua Barat dalam mengeksekusi program-program yang berpihak kepada orang asli Papua seperti yang diamanatkan otonomi khusus," ucap Tanda.
Sayangnya, ia belum mau merinci dan menyebutkan klasifikasi orang asli Papua berdasarkan tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Ia berdalih BPS masih harus memverifikasi data itu agar benar-benar valid. Ia memperkirakan verifikasi dan laporan lengkap mengenai orang asli Papua ini akan selesai dua bulan mendatang.

Editor: Glori K. Wadrianto

Here are 10 photos in the World Most Beautiful Bird of Paradise

There are more than three dozen species in the family Paradisaeidae, or better known as the bird of paradise.  There are about 13 Genus of these birds and the most famous is a member of the genus Paradisaea.  In Indonesia we call it with birds of paradise.  Characterized by striking colors and bright, yellow fur, blue, red, and green.  With the colors that they got the most beautiful and interesting birds in the world, so-called bird of paradise.  Birds of paradise are found in Papua or Papua New Guinea and surrounding islands, including Eastern Australia.  Unfortunately the existence of these birds decreases with the number of illegal hunting irresponsible.

1.  Lesser bird of paradise (Paradisaea minor)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirUhGSTBB2cTa5N8O7_MDF4uAmpXEenmJmViccixH23mzyk2AE5VojqRW7wKts1kkSxXOefVgjSWQnyUWOR5v8zQ4Zo79bA1wB6rae06jk5FVApAqHJB0ATapRB4tgHiLzf34PZKD3BUY/s400/23552_381567127327_99803722327_3618310_1440559_n.jpg
The Lesser bird of paradise known as the Paradise of small yellow.  This bird is medium sized with a length of about 32 cm, red-brown with yellow crown and upper back kecoklatan.Burung males have yellow throats emerald-green color, a pair of long tail feathers and adorned with yellow wings decoration on white base area  in the outer regions.  Female birds are smaller than males, have a dark brown head, white chest and without feathers adorned with decorations.  Penyabaranya area covers the entire northern forests of Papua New Guinea, and islands near Misool and Yapen.

2.  Raggiana bird of paradise (Paradisaea Raggiana)
cendrawasih terindah
The Raggiana bird of paradise is also known by the name of Count Raggi's bird of paradise.  This bird is also best known as the Bird of Paradise.  Habitat This bird is widely distributed in southern New Guinea and northeast.  Has a length of 34 cm long, red, grayish-brown, yellow iris and feet grayish brown.  Male bird has a yellow crown, emerald-green throat and yellow collar between the throat.  Wing feather color varies from red to orange depending on the subspecies.  Female birds are smaller than males, with a brown face and had no fur trimmings.

3.  Astrapia Ribbon-tailed (Astrapia mayeri)
cendrawasih terindah
This is one of the most spectacular birds of paradise.  His name Astrapia Ribbon-tailed and have the longest tail feathers in relation to body size, length is more than three times the body length.  Length of adult birds reached 32 cm with a tail of male bird that can reach 1 meter.  Male bird has a black and green olive brown colored while the female bird.  Male bird has a long tail-shaped white ribbon.  Endemic area in the middle of the island of New Guinea.

4.  Blue bird of paradise (Paradisaea Rudolphi)
cendrawasih terindah
His name reminds one of a taxi transportation in Indonesia.  This bird is about 30 cm, black, iris dark brown, legs gray.  Male bird feathers adorned with wings with the dominance of blue-purple color.  So that is also called the Bird of Paradise Blue.  Blue Bird of Paradise is a bird endemic to Papua New Guinea.  The endemic area covers the mountains southeast of Papua New Guinea.

5.  Riflebird Paradise (Ptiloris paradiseus)
cendrawasih terindah
If you ever see the movie Planet Earth, then you will see this bird.  This bird has a length of about 30 cm with black male bird with a colorful crown turquoise, black legs, dark brown iris and yellow mouth.  Female birds of this type of olive brown.  It is endemic to eastern Australia, Riflebird also scattered in the rainforest in New South Wales and central Queensland.  Male birds can spread their wings and show it off while moving to the right and left in front of female birds to entice them.

6.  Red bird of paradise (Paradisaea rubra)
cendrawasih terindah
We call it the Red Bird of Paradise, about 33cm long yellow and brown, and yellow beak.  Adult males can reach 72cm including jewelry feathers are blood red with a white tip on the side of his stomach.  Fur dark emerald green face and diekornya there are two of a long strap-shaped double gyre is black.  Female birds are smaller than male birds, with dark brown face and had no fur trimmings.  It is endemic from Indonesia, Red Bird of Paradise are found only in lowland forests on the island in the district Batanta Waigeo and Raja Ampat, West Irian Jaya province.

7.  Lawes's Parotia (Parotia Lawesii)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoj3v84w5rcM1itZ9OsUSCXPGsCtAVrsvZkR4E6ss34KHcmHr2J_FSr65cmKl8jLipANKZUJtlfdAKOKUvJ84mhTLCb8j6z4nhOuvITYhtWxglYp4Y0mR6ezSR8D60dcpyZpZ-pcqJ7Iw/s400/parotia-lawesii-300x204.jpg
Parotia lawesii sized up to 27 cm).  The endemic area of forest covering the mountains in the southeast and east of Papua New Guinea.  Male bird has a black color with white forehead, nape blue iridescent purple and green gold chest hair.  Decorated with three wire decorative head from behind each eye and elongated flank feathers black.  Bird females brown with dark bird's head, sliced yellow and dark.

8.  King of Saxony bird of paradise (Pteridophora Alberti)
cendrawasih terindah
King of Saxonyi is a kind of babbler birds are small, with a length of about 22cm.  Adult males have black hair and dark yellow, dikepalanya there are two strands of wire scaly feathers glossy blue-sky like a banner that length is 40cm and can be enforced at the time of alluring female.  Therefore this bird eaten Paradise Panji.  Fur coat and grow back elongated shaped black hood.  Iris dark brown, legs brownish gray and black beak with the inside of the mouth of sea-green.  Female bird is gray brown with stripes and dark spots.  Females smaller than males and without decorated wire coat or fur trimmings.  Endemic area in the mountainous jungle island of New Guinea.

9.  Wilson's Bird of Paradise (Cicinnurus respublica)
cendrawasih terindah
Wilson's Bird of Paradise rather small size to 21 cm.  Burun male is black with red and yellow robe in the neck, mouth, light green, blue legs and two purple tail feathers are curved.  That of temporary female brown with blue crown.  It is endemic to Indonesia, with the spread on the hill and lowland rain forest and Batanta Waigeo Islands of West Papua.

10.  Princess Stephanie's Astrapia (Astrapia stephaniae)
cendrawasih terindah
Stephanie Astrapia measuring about 37 cm, this bird is black and colorful blue-green heads and purple, besides that it has a long black tail feathers keungunan.  Bird females dark brown with bluish-black head.  Original habitat in the mountains of central and eastern Papua New Guinea.



Human rights campaigner Carmel Budiardjo made an honorary Papuan

Carmel Budiardjo
Carmel Budiardjo with John Miller (left) of ETAN and Ze Luis Oliveira at an East Timor solidarity conference in 2009. Photo: laohamutuk.org
Pacific Scoop:
Report – By Andreas Harsono in Jakarta


Democracy Forum Bersatu Rakyat Papua has presented the title “Eldest daughter of Papua nation” to human rights activist, writer and publisher Carmel Budiardjo of London in Bali. The event was attended by several Papuan leaders, including Mama Yosepha Alomang from Timika, Rev Benny Giay of STT, Walter Post, Federika Korain and Salmon Yumame of the Democracy Forum.

The event was held in Bali because Budiardjo, as a non-citizen of Indonesia, would have needed a “travel permit” to go to Papua.

Travel resprictions are used by the government of Indonesia to deter activists, journalists and international diplomats from travelling to Papua.

According to a press release by Democracy Forum: “Ms. Carmel Budiardjo, who is now 85 years old, has been showing great commitment fighting alongside the people of Papua to protect the identity and ultimate freedom given by God to the people of Papua.” She is considered of having shown “proven perseverance” in the fight for “the dignity” of the nation of Papua since the 1970s.

Budiardjo was baptised with the name: Papuaumau (Mee language) or Ati Venia (Maybrat language) or Bin Syowi (Biak language.) All those words mean “eldest daughter” in three local Papuan languages. Benny Giay said “Mother Carmel” is “a Papuan citizen” because of her struggle and commitment for human rights.

The inaugural presentation was marked by a procession of traditional dance by students in Bali. As part of the procession Mama Yosepha presented a painting with an image of Caramel Budiardjo. The painting on wood bark illustrates Budiardjo with one hand holding the image and people of Papua New Guinea. An inscription written on her shirt reads “Papua Carmel Budiardjo: Papuaumau or Ati or Bin Syowi Venia”.

In her speech, Carmel Budiardjo said she was deeply moved and grateful to the Democracy Forum. She said she would carry on to campaign for human rights for Papuan people.

Carmel Budiardjo was born in London in 1925. She graduated from the University of London in 1946.
She met with Suwondo Budiardjo, an Indonesian, when they lived in Prague. They married and moved to Java in 1952.

Jailed then expelled

There Carmel worked for the Department of Foreign Affairs.

In 1965 General Suharto took power and imprisoned thousands of Indonesian communists including Suwondo for 12 years. Carmel herself, as an economist from the left, was jailed for three years and was later expelled from Indonesia in 1971.

In London, Carmel Budiardjo founded TAPOL, which is an abbreviation for “political prisoner,” to campaign for the release of political prisoners in Indonesia. TAPOL stepped up its campaign with research about Indonesian military activities and human rights violations in East Timor, Aceh and Papua.

TAPOL published an important reference bulletin about human rights in Indonesia from the 1970s until 2008. In 1983, the organisation published the book West Papua: The Obliteration of a People. Budiardjo also wrote an autobiography, Surviving Indonesia’s Gulag: A Western Woman Tells Her Story.

Budiardjo’s work in the field of human rights has been widely acknowledged. In 1995, Carmel Budiardjo was awarded the Right Livelihood Award in Stockholm.

In 1999, the International Forum for Aceh, which is based in New York, awarded her the title “Tjut Carmel Budiardjo” (the title refering to her becoming a honorary “Acehnese women”).

According to Nur Djuli of the International Forum for Aceh, “We also gave her a plaque with a poem in Acehnese language, saying: Reudôk di glé ujeuën muprÅ“t-prÅ“t, aneuëk guda rÅ“t ôn naleuëng paya. Meunyo lôn ingat budi gata gÅ“t bak tiep simpang rÅ“t lôn rô ië mata.”

Meaning:

Thunder on the mountain, showering Rains,
A filly grazing grass swamp,
Whenever I recall your Good Deeds,
At every street corners
Tears drop from my eyes.

Carmel Budiardjo has tirelessly worked for people suffering from oppression by “Indonesian Javanese people.” – to borrow the terminology of Hasan di Tiro, who is the founder of the Acheh / Sumatra National Liberation Front. Last year East Timor’s President Jose-Ramos Horta presented the “Timor Leste Star” to Budiardjo for her “impressive contribution to peace, to the Timorese people and to humanity.”

In Bali, the event closed with a traditional Papuan banquet of papeda, fish sauce, petatas, taro leaf and kasbi. Budiardjo was accompanied by her son and daughter in the ceremony.

Andreas Harson is an independent Indonesian journalist writing on professional and human rights issues. This article was first published on Pacific Media Centre Online.
 
http://pacific.scoop.co.nz/2011/01/human-rights-campaigner-carmel-budiardjo-made-an-honorary-papuan/

Senin, 10 Januari 2011

China to invest in Papua


The company will invest up to a billion dollars
Vice President Boediono offers the chance to invest in the Mamberamo River power plant in Papua to Chinese investors. 


“The vice president wanted investors not only to exploit the natural resources but also build infrastructure to be integrated with other industries,” Yopie Hidayat said after a meeting with a delegation from the State Development and Investment Corporation, the Chinese government’s investment arm.
Meanwhile, the National Development Planning Agency (Bappenas) meet with Chinese-owned Metal China Corporation (MCC) to discuss investments in mining in Papua.
“They are aggressively investing in the mining sector for nickel and iron to support Chinese growth,” Bappenas first secretary Syahrial Loetan said on Saturday as quoted by kontan.co.id business news portal.
MCC’s investment plan would be firmed up in 2012.
Besides mining and power plant, according to media reports, Chinese companies are also interested in building seaports and airports in the Indonesian provinces of Papua and West Papua.

Minggu, 09 Januari 2011

Desak Papua jadi Enam Provinsi

NUSANTARA - PAPUA BARAT
Senin, 10 Januari 2011 , 09:40:00

SORONG- Meski pembahasn aspirasi pemekaran daerah belum jelas kapan akan dimulai lantaran masih moratorium, desakan pemekaran di Papua masih terus menguat. Tekad pemerintah untuk memperketat persyaratan pemekaran, dengan mengacu kepada grand design, tampaknya juga tidak dipedulikan. Tanah Papua, yang kini sudah menjadi dua provinsi, didesak untuk ditambah lagi empat provinsi.

Setelah ada Provinsi Papua dan Papua Barat, sebagian kalangan minta ada provinsi Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pengunungan Tengah. Ketua Tim Pemekaran Papua Barat Daya, Decky Asmuruf, menegaskan, upaya pembentukan Provinsi Papua Barat Daya (PBD) yang telah berjalan empat tahun harus terus diperjuangkan.

Akhir pekan lalu, diresmikan  Sekretariat Panitia Pejuang Pemekaran Provinsi Papua Barat Daya yang terletak di Jln Jenderal Sudirman Ruko Nomor 6 atau tepatnya di belakang Toko Yasmin. Peresmian Sekretariat Perjuangan Pemekaran Provinsi Papua Barat Daya ditandai dengan pembukaan papan nama sekretariat oleh Ketua Tim Pemekaran Papua Barat Daya Decky Asmuruf, dan kemudian dilanjutkan dengan ibadah syukur. Hadir dalam acara yang berlangsung khidmat tersebut  para anggota tim pemekaran Provinsi Papua Barat Daya.

Kepada Radar Sorong (grup JPNN) di Hotel Mamberamo, Decky Asmuruf  mengatakan, meski beredar kabar miring yang meragukan pembentukan Provinsi  Papua Barat Daya, namun  pemerintah pusat tetap bertekat untuk membangun tanah Papua dan mempertahankan Papua dari bagian NKRI. Dia mendesak pemerintah segera menjawab aspirasi masyarakat untuk memekarkan wilayah di Papua ini menjadi enam provinsi.

Decky Asmuruf yang pernah maju sebagai calon gubernur Papua Barat itu mengatakan,  misi dari pemekaran provinsi itu adalah  untuk mempercepat pembangunan di Papua dan mengeliminir adanya ide separatisme. “Dan ini adalah ide dari anak-anak Papua yang konsisten dengan NKRI dan hal ini didukung penuh oleh pemerintah pusat,” katanya.

Diakuinya 4 tahun memperjuangkan pembentukan Provinsi Papua Barat Daya pihaknya menghadapi cukup banyak tantangan. Hal ini terkait adanya orang yang merasa terganggu, terutama Papua Barat sebagai induk.

Mengenai syarat adanya surat rekomendasi dari gubernur Papua Barat dan dari ketua DPRD Papua Barat, menurutnya, hal tersebut  adalah persyaratan menurut UU 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. “Sementara pemekaran di provinsi tanah Papua ini adalah mengacu pada UU 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus, sehungga persyaratan yang diminta hanya dua saja yaitu rekomendasi dari MRP dan DPRD, jadi tidak ada rekomendasi dari gubernur maupun ketua DPR Provinsi,” terang  Decky Asmuruf.

Dia malah menegaskan sudah ada titik terang yang ditandai dengan dengan sudah adanya restu dari presiden RI yang diwujudkan dalam Ampres yang diterbitkan 9 Februari 2010 lalu. Diharapkan  pada bulan Januari 2011 ini akan menjadi berkat bagi masyarakat di Papua Barat Daya, termasuk masyarakat di Manokwari.

Menurutnya, persyaratan sudah beres, tinggal masalah batas wilayah. "Dan untuk batas wilayah tentunya kami tidak bisa ukur, dan yang berwenang adalah badan pemetaan nasional,” imbuh  Decky.

“Mudah-mudahan tanggal 16,17 Januari 2011 sudah diumumkan, habis diumumkan dimasukkan dalam lembaran negara dan selanjutnya diserahkan kepada eksekutif untuk melaksanakan UU tersebut,” imbuhnya optimis. Dijelaskan Decky, perjuangan pemekaran Provinsi Papua Barat Daya sudah masuk dalam akhir perjuangan sehingga  Papua Barat Daya tidak lama lagi akan hadir. (rat/sam/jpnn)
 
 http://www.jpnn.com/read/2011/01/10/81525/Desak-Papua-jadi-Enam-Provinsi-

FREE WEST PAPUA

Atasi Masalah Pangan, Food Estate Dipercepat

Economy - Fiskal & Moneter

Senin, 10 Januari 2011 - 07:49 wib
Ilustrasi
JAKARTA - Melonjaknya harga komoditas pangan dunia mendorong pemerintah melakukan antisipasi dengan mempercepat pengembangan lumbung pangan nasional (food estate) di Merauke,Papua.

Percepatan kawasan pertanian terpadu itu termasuk membenahi persoalan tata ruang provinsi yang selama ini menjadi penghambat.Tujuan perbaikan tata ruang ini adalah agar lebih cepat mendapatkan lahan baru guna mengembangkan lahan pertanian.

Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa menuturkan, kenaikan harga pangan global memang belum berdampak signifikan pada harga-harga komoditas di dalam negeri.Namun,percepatan food estate diperlukan sebagai langkah responsif. “Kemarin,memang ada sedikit persoalan tata ruang provinsi dan kabupaten di Merauke dan beberapa daerah. Ini sudah selesai, kita perlu buka lahan baru,”tutur Hatta di kantornya pekan lalu.

Dia menambahkan, bentuk antisipasi lain yang dilakukan pemerintah adalah mengajak investor menanamkan modalnya di sektor pertanian. Hal itu untuk memacu pertumbuhan pertanian di Indonesia yang sejauh ini tidak terlalu cepat. Hatta menegaskan bukan hanya investor luar negeri yang diajak bekerja sama,tapi juga investor dalam negeri.

Pada tahun ini akan ada pembukaan dua juta hektare (ha) lahan baru untuk komoditas pangan yang kenaikan harganya kerap memicu inflasi seperti beras, gula, dan kedelai. Menteri Pertanian Suswono menyatakan,secara terperinci peruntukan lahan di program food estate di Merauke adalah 500.000 ha untuk lahan tebu,500.000 ha untuk kedelai, sisanya untuk pengadaan lahan padi baru.

Sementara pengadaan lahan baru ini akan difokuskan di luar Pulau Jawa. Selain di Merauke lewat food estate seluas 552.000 ha,pulau lain yang akan disasar untuk pembukaan lahan baru adalah Sumatera, Kalimantan,dan Sulawesi. Selain pengadaan dua juta ha lahan baru, antisipasi pemerintah menghadapi gejolak harga pangan adalah dengan menambah jumlah alat pengering sebanyak 1.000 unit untuk mengantisipasi iklim ekstrem yang diprediksi masih akan melanda Tanah Air sepanjang 2011.

"Ini untuk menjaga ketahanan pangan nasional,”ujar Suswono.

Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menegaskan, guna merealisasikan pembangunan food estate, pemerintah membutuhkan anggaran sekitar Rp100 triliun.

Anggaran tersebut selain digunakan untuk pembangunan food estate,juga untuk pembangunan infrastruktur penunjang seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan. “Selain jalan provinsi, tidak kalah penting jalan kabupaten untuk menghubungkan tempat produksi,”ungkap Djoko.

Dia menambahkan,selain membangun jalan, jembatan, dan pelabuhan, pembangunan food estate juga memerlukan jaringan listrik dan sistem irigasi. “Infrastruktur dibangun dulu,setelah itu baru bisa berjalan food estate-nya,”tuturnya. Untuk merealisasikan anggaran sebesar itu, pemerintah masih mencari pendanaan dan berusaha merealisasikannya dalam tahun ini.

Ketua Komisi IV DPR Ahmad Muqowam mengaku harap-harap cemas terhadap program food estate yang disodorkan pemerintah. Dia menilai, food estate membutuhkan kerja kolektif yang sangat serius dari pemerintah.Sebab,jika tidak, akan berhadapan dengan risiko kegagalan. Kecemasan yang dirasakan Muqowam didasarkan pada pengalaman masa lalu seperti kasus pembukaan lahan sejuta hektare di Kalimantan Tengah yang dinilainya gagal total.

“Jika program food estate ingin berhasil, proyek tersebut tidak boleh dilakukan secara sepotong-sepotong,” paparnya.
(Bernadette Lilia Nova/Koran SI/wdi)
http://economy.okezone.com/read/2011/01/10/20/412118/atasi-masalah-pangan-food-estate-dipercepat



MEMBANGUN DEMOKRASI TANPA PENIPUAN DAN KEKERASAN DI TANAH PAPUA

                                                                                                                                                                                         Sebagai catatan bagi KPU atas realita penyelewengan proses pesta demokrasi  daerah  lain                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               

Oleh : Laurensius   Tebai

Dalam tulisan ini, penulis mengawali dengan  beberapa  pertanyaan,  melihat realita perhelatan perpolitikan  di Indonesia,  bahwa selalu terjadi penyelewengan proses  demokrasi dan berakhir di meja Mahkamah Konstitusi di Jakarta, berkaitan dengan proses pesta demokrasi pemilihan Kepala Daerah  Bupati/Walikota dan Gubernur, yang dinilai dilakukan dengan tidak adil, penipuan, maney politik, pengelembungan, manipulasi, rekayasa dan kekerasan. Yang menjadi pertanyaan adalah : Bagaimana partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pilkada Bupati/Walikota dan Gubernur melalui proses demokrasi tanpa mengikuti pengaruh penipuan, maney politic dan kekerasan tetapi dengan hati nurani menentukan pilihannya ? Apa dasar pelaksanaan sehingga KPU sebagai lembaga penyelenggara yang disebut juga lembaga independen ini, dapat menyelenggarakan proses pesta demokrasi secara netral dan adil ?  Bagaimana kesiapan Pemerintah Daerah dalam  membantu proses kegiatan pesta demokrasi  secara netral ?  Bagaimana peran Partai Politik pengusung dan Tim Sukses kandidat Calbup/Walikota dan Gubernur dalam rangka memainkan peranan agar tidak menimbulkan konflik horizontal ? Bagaimana peran Panwaslu Kabupaten/Kota dan Provinsi untuk memantau proses pemilukada secara benar, tegas dan bertanggungjawab untuk mengungkap temuan kasus penyelewengan proses pemilukada ?

Kita telah ketahui bersama bahwa, ketika rezim Soeharto berkuasa seantero persada nusantara dari Sabang sampai Merauke, tidak ada titik terang tentang demokrasi bagi rakyat kecil dan sangat sulit merasakan demokrasi. Hal ini, adanya sistem keotoriter Soeharto sangat kental sampai radikal, maka segala proses demokrasi dari semua dimensi kehidupan rakyat kecil tidak terbuka. Hanya yang dirasakan rakyat kecil adalah tekanan, ketakutan dan maut. Pada hal, Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut sistem demokrasi yang segala kekuasaan  kedaulatan ada ditangan rakyat. Saat itu, segala  proses pemilihan Bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden dipilih oleh wakil rakyat yang duduk di kursi DPR.                                                                                                                                                                      

Arus reformasi yang dibangun kalangan kampus menjadi pahlawan penyelamat bagi rakyat kecil, dengan adanya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa/I ini, mematikan kran keotoriter tersebut, maka sejak tahun 1997/1998 segala celah demokrasi terbuka seluas – luasnya bagi rakyat kecil, terutama dalam pengusungan dan pemilihan Bupati/Walikota. Gubernur dan Presiden. Dimana, calon Bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden diusung oleh rakyat melalui partai politik dan dipilih langsung oleh rakyat, tidak seperti sebelumnya menjadi, Bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden semua dari Pensiunan ABRI, ABRI, PNS dan Pensiunan PNS saja.melalui fraksi ABRI, Fraksi ABRI ini mempengaruhi fraksi lain [ sebelum reformasi hanya tiga parpol yaitu : GOLKAR, PDI dan PPP ]. Heran lagi bila kita lihat ABRI bukan sebuah Parpol, namun ada fraksi ABRI di kursi dewan. diakui bahwa saat itu  persoalan pemilukada tidak sampai di meja Mahkamah Konstitusi di Jakarta tidak seperti sekarang.                                                                                                                                                            

Di alam era reformasi dan globalisasi ini, rakyat diminta lebih berfikir dengan baik, arif dan bijaksana untuk tidak terpengaruh dengan janjian belaka, pemberian uang dan harta atas kepentingan pribadi yang nantinya rakyat sendiri akan menjadi korban  politik dan korban pembangunan. Karena dengan cara menarik simpati diberikan uang/barang yang dilakukan oleh kandidat calon Bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden selama ini bukan sifatnya  membina, mengarahkan, mengatur masyarakat kecil melalui organisasi/kelompok kerja tani  yang benar untuk meningkatkan kegiatan tetapi dengan cara melalui orang per orang yang mengatasnamakan kelompok/organisasi masyarakat yang tidak jelas  membuat masyarakat sendiri menjadi pemalas kerja, penonton, pencuri, pemabuk dan peminta-minta orang lain. Oleh karena itu, dengan jelih rakyat melihat-memilih pemimpin di Tanah Papua yang takut akan Tuhan, merakyat, tegas menegakan disiplin kerja bagi PNS, tidak koruptor, memperhatikan upah kinerja, ULP, dan Insentif secara efisien dan efektif bagi PNS [ untuk mengurangi korupsi dan peningkatan disiplin kerja ], memperhatikan organisasi kemasyarakatan [ LSM, Agama, Parpol, kepemudaan, Kesenian dll ], pembinaan kelompok kerja Tani,  memperhatikan ekonomi kerakyatan bagi Orang Asli Papua dan membangun tanpa membeda-bedakan tidak dari sudut pandang  keluarga, fam, kampung dan daerah/wilayah.                                                                                                                                                          

Dalam pesta demokrasi di Indonesia yang menjadi acuan dasar pelaksanaan pilkada Bupati/Walikota dan Gubernur  adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP No. 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian  Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.  Selain dasar pijakan tersebut, ada pula Azas Penyelenggaraan  pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu Peraturan KPU No. 11 pasal 3 diantaranya menyebutkan : mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggaraan, kepentingan umum, keterbukaan, profesional, akuntabel, efisien  dan efektifitas yang artinya tepat dan mempunyai hasil yang memuaskan bagi  stackeholder / semua lapisan masyarakat.  Kandidat calon Bupati/Walikota dan Gubernur yang bertarung harus membuat kepakatan politik untuk siap menang dan kalah.dihadapan Akte notaris disaksikan oleh KPU, Panwaslu, partai penusung, tim sukses, dan pihak keamanan.                                                                                                                                                                                          

Acuan pelaksanaan ini, ada ketika adanya tuntutan dari rakyat kecil, sekarang bagaimana implementasi dalam rangka mewujudkan pemilukada Bupati/Walikota dan Gubernur  yang demokratis hanya ada pada rakyat itu sendiri dengan, kesadaran  menentukan pilihannya sesuai hati nurani. serta Partai Politik Pengusung dan Tim Sukses kandidat calbup/Walikota dan Gubernur mengikuti segala tahapan yang ditetapkan  oleh KPU dengan baik, yaitu dari tahap persiapan, pelaksanaan dan  penyelesaian.                                                                                               

 Dari beberapa tahapan yang ada ini, Pemerintah Daerah sangat berperan aktif untuk mendorong  proses dengan bantuan  dana kepada KPU. Dana yang dibantu Pemerintah Daerah musti digunakan secara efisien, jujur, benar, baik dan digunakan atas komando Ketua KPU. KPU harus focus untuk melaksanakan kegiatan sosialisasi tentang kegiatan proses kerja sama dengan Instansi pemerintah  seperti Kesbangpollinmas. Selain itu, Pemerintah Daerah menyiapkan data penduduk melalui instansi terkait [ dinas kependudukan] dan nantinya PEMDA serahkan  data pemilih ke KPU berupa Daftar Pemilih Sementara [ DPS ], Daftar Pemilih Sementara tersebut setelah direkap KPU, KPU dikembalikan ke Kepala Kelurahan/Kampung untuk di tempel masing-masing Kantor Kelurahan/Kampung agar warganya dapat melihat apa sudah terdaftar atau belum, ada nama orang yang sudah pindah, meninggal dan dobel. Kemudian Kepala Kelurahan/Kampung mengirim daftar pemilih sementara yang diperbaiki kirim ke KPU untuk ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap [ DPT ]. Daftar Pemilih Tetap  yang ditetapkan tersebut  didistribusi lagi ke pemerintah Distrik, Kelurahan/Kampung, PPD, PPS sebagai pegangan kerja. Berdasarkan Daftar Pemilih Tetap ini KPU proses kartu pemilih dan kertas suara seterusnya  sebelum satu hari pemilihan didistribusi lagi ke warga yang terdaftar sebagai pemilih agar pada  hari  “ H ” setiap pemilih  datang dengan pasti untuk menentukan hak pilihnya  dengan lancar dan aman.                                                                                                                                                     

Pada tahapan persiapan adalah tahap yang sangat penting untuk KPU melakukan sosialisasi secara terbuka kepada masyarakat tentang : apa dasar pelaksanaan, menyampaikan daftar directori parpol peserta pemilu legislative 2008 peroleh berapa suara, kursi, persen dan siapa pengurus partai dari masing – masing parpol agar pada saat pengusungan kandidat Calbup/Walikota dan Gubernur tidak terjadi persoalan [ persoalan SK pengurus dan Rekomendasi calon kandidat ]. Selain itu, menyampaikan jadwal kegiatan yang akan dilalui, simulasi dan cara tusuk / contreng atau…?. Sasaran kegiatan  sosialisas dan simulasi  dilakukan di tingkat Distrik dan Kelurahan/Kampung agar tidak terjadi seperti persoalan pemilukada di Kota Jayapura, Kabupaten Waropen dll. Persoalan pemilukada di Kabupaten Waropen  hanya karena pemberian suara sistem noken  dianggap salah harus pada kotak suara dari KPU. Hal seperti ini terjadi karena tidak ada sosialisasi dan simulasi, Semestinya harus dilakukan pemilihan ulang karena kesalahan ada pada KPPS, PPS, PPD dan KPU sebagai penyelenggara tidak memahami tupoksi  dan tidak memberikan pemahaman politik yang baik dan benar secara terbuka kepada masyarakat tetapi pihak penyelenggara dianggap tidak bersalah dan dibenarkan dihadapan hukum. Dalam situasi seperti ini peranan Panwaslu diuji, apa dapat bertanggungjawab secara benar  sesui  hasil temuan atau tidak. Oleh karena itu Panwaslu Kabupaten/Kota dan Provinsi mengawasi segala jalannya proses dari awal untuk mewanti/teguran kepada KPU, Pemerintah Daerah, Parpol dan Tim sukses agar persoalan tidak sampai di Mahkama Konstitusi di Jakarta.  

Kita musti tidak samakan kondisi geografis, topografis dan demografis pulau Jawa dengan Tanah Papua. Bahwa di Tanah Papua ada daerah yang sulit dijangkau, ada daerah yang jangkau berhari sampai satu atau dua minggu perjalanan dengan jalan kaki, sehingga alat dan bahan kelengkapan  KPU seperti logistic pun sulit sampai di daerah-daerah tersebut, akibat dari pemerintah tidak membangun daerah tersebut. Pemberian suara sistem noken ini bukan terjadi di Waropen saja tetapi daerah lain di Papua namun diakui melihat kondisi daerah, masyarakat dan dilakukan ini atas kesepakatan secara terbuka. Ini sebagai contoh kasus yang terjadi, agar KPU di Kabupaten/Kota dan Provinsi lain untuk memahami tupoksi dalam rangka memberikan pendidikan politik yang baik, benar dan terbuka kepada public serta KPU merangkul anggota PPD, PPS dan KPPS sesuai aturan, mekanisme, orang yang menguasai masyarakat dan daerah  untuk dapat bekerja dengan baik, jujur dan netral. Semoga Indonesia tipu Papua [ intipa ] dan Papua tipu Papua [ patipa ] yang terjadi  di Kabupaten/Kota dan Provinsi yang lain, tidak terulang lagi di Kabupaten/Kota dan Provinsi di Tanah Papua. Sebagai akhir kata  saya kutib kata dari Aristoteles, bahwa ” kita tidak perlu musuh satu sama lain diluar aturan  dengan idola seorang calon pemimpin, karena pemimpin akan milik semua orang, pemimpin itu dengan sendiri akan nampak secara alamiah melalui proses perilaku, tindakan, moral, kesopanan dan norma yang dianut  sebelumnya atas kehendak  Allah.”                                                                                                                                                                                                                  Penulis adalah :  Tokoh Pemuda, Pemerhati  Sosial dan Birokrasi  Tinggal di Dogiyai.


FREE WEST PAPUA