Selasa, 18 Januari 2011

UU PERDASUS MRP TAHUN 2010 KACAU


Semua Manusia Asli

Semua manusia asli, tidak manusia ada yang palsu. Maka dengan sendirinya terma Orang Asli Papua menurut tata bahasa sesungguhnya rancu dan salah karena semua manusia asli. Secara terminologi asli lawan kata dari palsu. Terma asli dan palsu dalam ketatabahasaan penggunaannya dimaksudkan pada benda dan kata sifat bukan pada manusia. Misalnya Celana Jeans Lea asli buatan Amerika, jam Rolex atau jam tangan merk Seiko asli buatan Jepang dsb. Kita jarang menyebut kata asli bagi manusia. Kata asli secara ketatabahasaan salah kalau dimaksudkan bagi manusia. Karena logikanya jika manusia ada asli maka pasti ada manusia palsu. Tapi pertanyaannya apakah ada manusia yang palsu? Tentu saja jawabannya tidak ada. Semua manusia asli. 

Dalam antropologi berbagai kebudayaan didunia masing-masing suku-bangsa ada keyakinan bahwa mereka menganggap dirinya sebagai manusia superior (manusia sejati) dan selainnya inferior (rendah). Demikian hampir seluruh suku bangsa di Papua menganggap dirinya manusia superior, sebagai misal konsep manusia Anim Ha di Merauke. Pada Suku Dani Lembah Balim dengan konsep Apuni (manusia sejati) dst. Tidak hanya di Papua orang Jawa menyebut orang diluar suku mereka dengan sebutan Orang Sebrang. Yang dimaksudkan dengan Orang Sebrang pengertiannya hampir sama dengan kebalikan dari konsep pengertian Suku Dani Apuni berarti diluar suku Jawa orang Jawa menganggap kurang berbudaya (inferior).

Hitler dari Jerman misalnya dengan keyakinan ras Aria sebagai yang paling superior dianggap paling keliru melakukan proses helecous pada warga Yahudi adalah pelanggar HAM terberat abad 20 lalu yang menyebabkan ribuan nyawa orang Yahudi menjadi korban sia-sia atas keyakinan palsu itu bagi umat manusia. Karena itu UU Perdasus MRP tentang penggunaa kata orang Asli Papua secara tata bahasa bukan saja melanggar nilai-nilai HAM dan demokrasi universal tetapi juga secara filsafat hermeneutic kalimat ini salah apalagi kalau itu sebagai UU sebagai hukum tertinggi. Bukan hanya itu lebih tapi batasan orang Papua Asli dalam UU Perdasus harus jelas dimana batasannya adalah urgensinya catatan ini ditulis mau dimaksudkan disini. 

UU Perdasus MRP Rancu

Penggunaan terminologi dalam pembuatan UU Perdasus MRP tahun 2010 dan didalam pasal-pasalnya banyak terdapat kerancuan antara satu pasal dan pasal lainnya. Karena itu harus dikoreksi agar kita jangan sampai dengan alasan waktu mepet pemerintah Propinsi Papua seakan tak mau tau dan tidak berdaya memperbaiki itu tanpa melibatkan akademisi, intelektual, mahasiswa dan masyarakat umum tapi tetap saja mau dilaksanakan sesuai agenda radiogram Mendagri tanpa sosialisasi memadai kepada rakyat Papua. Jika Pemerintah Propinsi dan Mendagri tetap buru-buru melaksanakan rekruitman anggota MRP maka hasilnya tidak aka nada perbaikan nasib Rakyat Papua di era Otonomi Khusus kedepan.

Seharusnya Mendagri dan Pemerintah Propinsi Papua perjelas dulu nasib 11 kursi DPRD Keputusan Mahkamah Konstitusi yang dimenangkan Barisan Merah Putih (BMP) atas nama rakyat Papua itu bagaimana penetapan dan segera melakukan pelantikan. Pemerintah seharusnya didahulukan dulu 11 kursi DPRP karena masa aktif kerja DPRP sudah lewat dan telat satu tahun terhitung PEMILU tahun 2009. 

Karena mengingat Papua belum memiliki Partai lokal sebagaimana Otonomi Khusus Aceh, maka rasionalisasinya 11 jatah kursi DPRP Papua dan 9 jatah DPRP Papua Barat harus dijatah untuk diangkat tanpa mekanisme Partai Politik melalui PEMILU, namun hingga detik ini belum dilantik dan ditetapkan oleh Mendagri bagaimana aturan mekanismenyasejak Putusan MK, anehnya malah pemilihan anggota MRP didahulukan apa maksud sebenarnya dibalik ini semua? Apakah karena ada desakan KONGRES AS melalui Dubesnya di Jakarta sehingga Pusat (Mendagri) menjadi takut sehingga mengikuti keinganan Amerika? 

Wallahu'alam.

Putusan MK jatah 11 kursi DPRP Papua dan 9 kursi DPRP jatah Papua Barat setahun lalu harusnya sudah lama dilantik untuk masa kerja 2009-10114, tapi pada kenyataannya sampai detik ini belum dilantik dan Mendagri dan Pemerintah di kedua Propinsi belum melaksanakan tugasnya itu adalah hal aneh bin ajaib.

Sosialisasi pemilihan MRP petugas yang datang ke daerah-daerah selama bebberapa hari dari jadwal waktu ditetapkan beberapa bulan itu kenyataan dilapangan hanya pertemuan dengan pejabat pemerintah di Kabupaten-Kabupaten di kedua Propinsi Papua-Papua Barat. Karena itu sosialisasi pemilihan anggota MRP sesungguhnya sangat tidak memadai ditambah bagaimana nasib 11 kursi DPRD Papua tidak jelas jadi terkesan semua serba instan dan buru-buru. Nampak diamati dari jarak dekat bahwa proses rekruitman anggota MRP sembunyi-sembunyi dari hotel ke hotal semacam kerja LSM. 

Panitia yang ditunjuk pemerintah nampak terkesan sangat tidak siap melaksanakan pemilihan anggota MRP selain hanya mengejar target dead line Mendagri hasilnya maka tingkat partisipasi rakyat Papua sama sekali sangat kurang atau memang sengaja Panitia penyelenggara rekruitmen anggota MRP tahun 2009 dengan mekanisme manipulasi? Padahal masa berakhir anggota MRP bulan Oktober diundur 3 bulan malah hasilnya sama saja tidak banyak kemajuan. Akhirnya tidak aspiratif atau penuh manipulasi dan rekayasa oknum berkepentingan. 

Tapi mengapa seakan pemerintah tetap saja memaksakan kehendak pemilihan MRP dahulukan dari 11 kursi DPRP Papua-Papua Barat? Siapapun tidak sanggup dengan keterbatasan waktu sosialisasi perhelatan pemilihan anggota MRP kalau tidak sesungguhnya pemerintah Propinsi Papua melanggar hak konstitusi rakyat Papua hanya karena alasan radiogram Kementerian Dalam Negeri RI, karena itu tetap memaksakan pelaksanaan MRP tanpa persiapan dan sosialisasi memadai.

Jangankan mau sosialisasi memadai UU Perdasus-nya sendiri tanpa uji public misalnya melibatkan akademisi, mahasiswa/i, intelektual dan masyarakat umum senyatanya pemerintah Propinsi Papua melalui Kesbang Papua memaksakan diri tetap mau melaksanakan pemilihan MRP dalam bulan ini juga. Kesbang Papua melaksanakan perhelatan pemilihan MRP layaknya kerja-kerja semisal kerja LSM. Hasilnya bisa ditebak selain tidak berkualitas penuh panipulasi dan rekayasa pada akhirnya, seperti adagium orang Jawa bobot, bibit dan bebet anggota MRP banyak sebagai wakil Adat diintervensi kepentingan pemerintah. Padahal MRP adalah kursi Adat bukan lain dan untuk kepentingan siapa apalagi pemerintah sebaiknya MRP hadir agar bisa melindungi kepentingan dan hak-hak dasar masyarkat Adat Papua.

Masyarakat Pribumi Papua, sejak Otsus Papua paling tidak diuntungkan oleh berbagai factor. Rakyat Papua mayoritas diam  dan jarang dilibatkan dalam berbagai proses keputusan apapun atas nama kepentingan orang Papua. Semua itu dimanipulir segelintir kelompok orang dari LSM  dan Ormas atas persetujuan atau karena kedekatan mereka mengakses ke Pemerintah. Karena begitu maka macam begini kedepan harus diperbaiki.
Hal begini ini kedepan dicermati bersama karena obyek yang jadi perhatian untuk dilindungi dimaksudkan dalam UU itu sendiri tidak dilibatkan dalam semua proses maka sejumlah semua manupulasi dan rekayasa beberapa Ormas/LSM dengan pemerintah Misalnya UU Perdasus MRP tanpa uji public hasilnya sudah dipastikan merugikan masyarakat Adat Papua. Padahal tujuan awal melindungi hak-hak politik, sosial, ekonomi, budaya mereka tapi sebaliknya justeru semakin memarjinalkan.

UU Perdasus tentang MRP dalam kenyataannya yang sudah disahkan oleh DPRP Propinsi Papua pada tanggal 24 November tahun 2010, setelah diamati isi pasal-perpasal dan ayat per-ayat ternyata didalamnya banyak dijumpai kelemahan bahkan sangat merugikan masyarakat Adat Papua. Pertanyaannya; MRP milik siapa? Bukankah institusi ini lahir dari kenyataan suatu situasi deadloc komunikasi politik antara Jakarta dan Papua oleh akibat keinginan rakyat Papua keluar dari NKRI? Maka jalan tengah kebuntuan dialog antara kedua bela pihak berseberangan ideologi itu, antara pemerintah pusat dan wakil rakyat Papua (PDP), maka secara benevolence dictatorshif pemerintah Pusat meresmikan institusi MRP sebagai refresentasi cultural rakyat Papua sebagai Indonesia atas eksistensi masyarakat Adat Papua yang unik.

Mengapa banyak pasal dan ayat-ayat didalamnya tidak berpihak pada rakyat Papua yang mau dilindungi hak-haknya itu bisa lolos dan tetap disahkan? Apakah wakil-wakil rakyat Papua di IMBI tidak satupun bisa paham? Mengapa UU bisa lolos dan malah ketuk palu oleh pimpinan sidang padahal antara satu pasal dan pasal lain banyak tumpang tindih bahkan banyak ayat dalam Pasal misalnya BAB 2 Ayat 2 tentang persyaratan MRP pada poin A,B dan C irasional alias tidak masuk akal.

Padahal UU suatu bangsa adalah pijakan hukum tertinggi dalam rangka, menertibkan, mengatur dan mengelola suatu masyarakat demokratis. JIka tidak kalimat utopia Papua Zona Damai jauh dari harapan kenyataan. Penting mau diingatkan disini adalah bahwa MRP adalah kursi Adat bukan kursi politik apalagi kursi atau jabatan profesi. Kalau begitu syarat wakil MRP unsur Agama syaratnya harus S1 sedangkan unsur Adat dan Perempuan boleh SMA/sederajat logikanya dimana pasal soal syarat ini bagi kita?

Orang Asli Papua? 

Istilah orang Asli Papua diskriminatif dan tidak demokratis bila ditinjau dari perspektif  HAM dan demokrasi modern ataupun  dimensi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana Pancasila dan diajarkan semua agama. Apakah ada manusia palsu? Kalau mau dimaksudkan sebgai bagian dari proteksi politik bagi penduduk Pribumi Papua maka istilah Orang Asli Papua harus ditinjau ulang. Karena itu, saya usul disini agar kata-kata :"orang Papua asli" dalam UU Perdasus tahun 2010, diganti dengan terma : "orang pribumi Papua, yang lebih demokratis dan dapat dipahami semua lapisan masyarakat warga Papua dengan baik.

Istilah orang asli Papua adalah istilah pejoratif yang merendahkan martabat manusia tidak sesuai dengan Pancasila sila 2, 'Kemanusiaan yang adil dan beradab', padahal yang harus menjadi penekanan sesuai semangat dan tujuan UU Otsus Papua lebih pada aspek keadilan sosial sila ke 5 Pancasila yakni : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Papua dalam kerangka nasionalisme Papua dalam Indonesia. UU adalah dasar hukum tertinggi dalam suatu pemerintahan.

Jika dianalisa secara cermat dengan menggunakan filsafat hermeneutik, orang asli Papua seakan-akan mengesankan yang lain manusia palsu, walaupun terminologi bahwa yang dimaksud orang Papua asli tidak bermaksud yang lain manusia palsu. Karena pada hakekatnya semua manusia Asli dan tidak ada manusia palsu atau asli. Semua manusia asli.

Karena itu para ahli filsafat psikologi yang bersibuk diri meneliti tentang watak manusia sejatinya makhluk Tuhan yang bernama manusia adalah makluk yang senantiasa "membelum"(be coming) atau  "menyedang"(prossesing) terus menerus. Hewan berakal yang disubut manusia itu senantiasa tanpa kesempurnaan adanya ("al-insanu makaanul khotho' wannisyaan" : 'Manusia adalah tempat salah dan lupa' menurut Nabi Muhammad SAW. Jadi hakikat sesungguhnya siapapun kita manusia, saya-kamu-dia-kami-mereka tanpa pernah ada kesempurnaan paripurna (par exelence).

Kalau kita meminjam istilah Driyakara manusia adalah makhluk "menyedang" atau "membelum" senantiasa dari generasi kegenerasi tanpa kesempurnaan paripurna. Jadi manusia adalah makluk yang senantiasa berencana dari masa kini ke masa depan, penyempurnaan tanpa kesempurnaan. Manusia dengan akalnya senantiasa merangcang dari masa kini kemasa depan lebih baik (Respondeo Ergo Sum). Affirmatif action tidak lain proteksi politik bagi rakyat Papua, karena itu konklusi logika pikir ini dimaksudkan bahwa UU Perdasus MRP secara ketatabahasaan maupun antara satu Pasal lain antara satu ayat dan ayat lain banyak mengandung kerancuan harus disempurnakan.

*Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua (FKMPTP). Kontak HP : 081383418655