Oleh Ismail Asso*
Semua
Manusia Asli
Semua manusia asli, tidak manusia ada yang palsu.
Maka dengan sendirinya terma Orang Asli Papua menurut tata bahasa sesungguhnya
rancu dan salah karena semua manusia asli. Secara terminologi asli lawan kata dari
palsu. Terma asli dan palsu dalam ketatabahasaan penggunaannya dimaksudkan pada
benda dan kata sifat bukan pada manusia. Misalnya Celana Jeans Lea asli buatan
Amerika, jam Rolex atau jam tangan merk Seiko asli buatan Jepang dsb. Kita
jarang menyebut kata asli bagi manusia. Kata asli secara ketatabahasaan salah
kalau dimaksudkan bagi manusia. Karena logikanya jika manusia ada asli maka pasti
ada manusia palsu. Tapi pertanyaannya apakah ada manusia yang palsu? Tentu saja
jawabannya tidak ada. Semua manusia asli.
Dalam antropologi berbagai kebudayaan didunia
masing-masing suku-bangsa ada keyakinan bahwa mereka menganggap dirinya sebagai
manusia superior (manusia sejati) dan
selainnya inferior (rendah). Demikian
hampir seluruh suku bangsa di Papua menganggap dirinya manusia superior, sebagai misal konsep manusia Anim
Ha di Merauke. Pada Suku Dani Lembah Balim dengan konsep Apuni (manusia sejati)
dst. Tidak hanya di Papua orang Jawa menyebut orang diluar suku mereka dengan
sebutan Orang Sebrang. Yang
dimaksudkan dengan Orang Sebrang
pengertiannya hampir sama dengan kebalikan dari konsep pengertian Suku Dani
Apuni berarti diluar suku Jawa orang Jawa menganggap kurang berbudaya (inferior).
Hitler dari Jerman misalnya dengan keyakinan ras
Aria sebagai yang paling superior
dianggap paling keliru melakukan proses helecous
pada warga Yahudi adalah pelanggar HAM terberat abad 20 lalu yang menyebabkan
ribuan nyawa orang Yahudi menjadi korban sia-sia atas keyakinan palsu itu bagi
umat manusia. Karena itu UU Perdasus MRP tentang penggunaa kata orang Asli
Papua secara tata bahasa bukan saja melanggar nilai-nilai HAM dan demokrasi
universal tetapi juga secara filsafat hermeneutic
kalimat ini salah apalagi kalau itu sebagai UU sebagai hukum tertinggi. Bukan
hanya itu lebih tapi batasan orang Papua Asli dalam UU Perdasus harus jelas
dimana batasannya adalah urgensinya catatan ini ditulis mau dimaksudkan disini.
UU
Perdasus MRP Rancu
Penggunaan terminologi dalam pembuatan UU Perdasus
MRP tahun 2010 dan didalam pasal-pasalnya banyak terdapat kerancuan antara satu
pasal dan pasal lainnya. Karena itu harus dikoreksi agar kita jangan sampai
dengan alasan waktu mepet pemerintah Propinsi Papua seakan tak mau tau dan
tidak berdaya memperbaiki itu tanpa melibatkan akademisi, intelektual,
mahasiswa dan masyarakat umum tapi tetap saja mau dilaksanakan sesuai agenda radiogram
Mendagri tanpa sosialisasi memadai kepada rakyat Papua. Jika Pemerintah
Propinsi dan Mendagri tetap buru-buru melaksanakan rekruitman anggota MRP maka
hasilnya tidak aka nada perbaikan nasib Rakyat Papua di era Otonomi Khusus
kedepan.
Seharusnya Mendagri dan Pemerintah Propinsi Papua
perjelas dulu nasib 11 kursi DPRD Keputusan Mahkamah Konstitusi yang
dimenangkan Barisan Merah Putih (BMP) atas nama rakyat Papua itu bagaimana
penetapan dan segera melakukan pelantikan. Pemerintah seharusnya didahulukan
dulu 11 kursi DPRP karena masa aktif kerja DPRP sudah lewat dan telat satu tahun
terhitung PEMILU tahun 2009.
Karena mengingat Papua belum memiliki Partai lokal
sebagaimana Otonomi Khusus Aceh, maka rasionalisasinya 11 jatah kursi DPRP
Papua dan 9 jatah DPRP Papua Barat harus dijatah untuk diangkat tanpa
mekanisme Partai Politik melalui PEMILU, namun hingga detik ini belum
dilantik dan ditetapkan oleh Mendagri bagaimana aturan mekanismenyasejak
Putusan MK, anehnya malah pemilihan anggota MRP didahulukan apa maksud
sebenarnya dibalik ini semua? Apakah karena ada desakan KONGRES AS melalui
Dubesnya di Jakarta sehingga Pusat (Mendagri) menjadi takut sehingga mengikuti
keinganan Amerika?
Wallahu'alam.
Putusan MK jatah 11 kursi DPRP Papua dan 9 kursi
DPRP jatah Papua Barat setahun lalu harusnya sudah lama dilantik untuk masa
kerja 2009-10114, tapi pada kenyataannya sampai detik ini belum dilantik dan
Mendagri dan Pemerintah di kedua Propinsi belum melaksanakan tugasnya itu
adalah hal aneh bin ajaib.
Sosialisasi pemilihan MRP petugas yang datang ke
daerah-daerah selama bebberapa hari dari jadwal waktu ditetapkan beberapa bulan
itu kenyataan dilapangan hanya pertemuan dengan pejabat pemerintah di
Kabupaten-Kabupaten di kedua Propinsi Papua-Papua Barat. Karena itu sosialisasi
pemilihan anggota MRP sesungguhnya sangat tidak memadai ditambah bagaimana
nasib 11 kursi DPRD Papua tidak jelas jadi terkesan semua serba instan dan
buru-buru. Nampak diamati dari jarak dekat bahwa proses rekruitman anggota MRP sembunyi-sembunyi
dari hotel ke hotal semacam kerja LSM.
Panitia yang ditunjuk pemerintah nampak terkesan
sangat tidak siap melaksanakan pemilihan anggota MRP selain hanya mengejar
target dead line Mendagri hasilnya maka
tingkat partisipasi rakyat Papua sama sekali sangat kurang atau memang sengaja
Panitia penyelenggara rekruitmen anggota MRP tahun 2009 dengan mekanisme
manipulasi? Padahal masa berakhir anggota MRP bulan Oktober diundur 3 bulan
malah hasilnya sama saja tidak banyak kemajuan. Akhirnya tidak aspiratif atau
penuh manipulasi dan rekayasa oknum berkepentingan.
Tapi mengapa seakan pemerintah tetap saja memaksakan
kehendak pemilihan MRP dahulukan dari 11 kursi DPRP Papua-Papua Barat? Siapapun
tidak sanggup dengan keterbatasan waktu sosialisasi perhelatan pemilihan
anggota MRP kalau tidak sesungguhnya pemerintah Propinsi Papua melanggar hak
konstitusi rakyat Papua hanya karena alasan radiogram Kementerian Dalam Negeri
RI, karena itu tetap memaksakan pelaksanaan MRP tanpa persiapan dan sosialisasi
memadai.
Jangankan mau sosialisasi memadai UU Perdasus-nya
sendiri tanpa uji public misalnya melibatkan akademisi, mahasiswa/i,
intelektual dan masyarakat umum senyatanya pemerintah Propinsi Papua melalui Kesbang
Papua memaksakan diri tetap mau melaksanakan pemilihan MRP dalam bulan ini
juga. Kesbang Papua melaksanakan perhelatan pemilihan MRP layaknya kerja-kerja
semisal kerja LSM. Hasilnya bisa ditebak selain tidak berkualitas penuh
panipulasi dan rekayasa pada akhirnya, seperti adagium orang Jawa bobot, bibit
dan bebet anggota MRP banyak sebagai wakil Adat diintervensi kepentingan
pemerintah. Padahal MRP adalah kursi Adat bukan lain dan untuk kepentingan siapa
apalagi pemerintah sebaiknya MRP hadir agar bisa melindungi kepentingan dan
hak-hak dasar masyarkat Adat Papua.
Masyarakat Pribumi Papua, sejak Otsus Papua paling
tidak diuntungkan oleh berbagai factor. Rakyat Papua mayoritas diam dan
jarang dilibatkan dalam berbagai proses keputusan apapun atas nama kepentingan
orang Papua. Semua itu dimanipulir segelintir kelompok orang dari LSM dan Ormas atas persetujuan atau karena kedekatan
mereka mengakses ke Pemerintah. Karena begitu maka macam begini kedepan harus
diperbaiki.
Hal begini ini kedepan dicermati bersama karena
obyek yang jadi perhatian untuk dilindungi dimaksudkan dalam UU itu sendiri
tidak dilibatkan dalam semua proses maka sejumlah semua manupulasi dan rekayasa
beberapa Ormas/LSM dengan pemerintah Misalnya UU Perdasus MRP tanpa uji public
hasilnya sudah dipastikan merugikan masyarakat Adat Papua. Padahal tujuan awal
melindungi hak-hak politik, sosial, ekonomi, budaya mereka tapi sebaliknya
justeru semakin memarjinalkan.
UU Perdasus tentang MRP dalam kenyataannya yang
sudah disahkan oleh DPRP Propinsi Papua pada tanggal 24 November tahun 2010,
setelah diamati isi pasal-perpasal dan ayat per-ayat ternyata didalamnya banyak
dijumpai kelemahan bahkan sangat merugikan masyarakat Adat Papua. Pertanyaannya;
MRP milik siapa? Bukankah institusi ini lahir dari kenyataan suatu situasi deadloc komunikasi
politik antara Jakarta dan Papua oleh akibat keinginan rakyat Papua keluar dari
NKRI? Maka jalan tengah kebuntuan dialog antara kedua bela pihak berseberangan
ideologi itu, antara pemerintah pusat dan wakil rakyat Papua (PDP), maka secara
benevolence dictatorshif pemerintah Pusat meresmikan institusi MRP
sebagai refresentasi cultural rakyat Papua sebagai Indonesia atas eksistensi
masyarakat Adat Papua yang unik.
Mengapa banyak pasal dan ayat-ayat didalamnya tidak
berpihak pada rakyat Papua yang mau dilindungi hak-haknya itu bisa lolos dan
tetap disahkan? Apakah wakil-wakil rakyat Papua di IMBI tidak satupun bisa
paham? Mengapa UU bisa lolos dan malah ketuk palu oleh pimpinan sidang padahal
antara satu pasal dan pasal lain banyak tumpang tindih bahkan banyak ayat dalam
Pasal misalnya BAB 2 Ayat 2 tentang persyaratan MRP pada poin A,B dan C irasional
alias tidak masuk akal.
Padahal UU suatu bangsa adalah pijakan hukum
tertinggi dalam rangka, menertibkan, mengatur dan mengelola suatu masyarakat
demokratis. JIka tidak kalimat utopia Papua Zona Damai jauh dari harapan kenyataan.
Penting mau diingatkan disini adalah bahwa MRP adalah kursi Adat bukan kursi
politik apalagi kursi atau jabatan profesi. Kalau begitu syarat wakil MRP unsur
Agama syaratnya harus S1 sedangkan unsur Adat dan Perempuan boleh SMA/sederajat
logikanya dimana pasal soal syarat ini bagi kita?
Orang
Asli Papua?
Istilah orang Asli Papua diskriminatif dan tidak
demokratis bila ditinjau dari perspektif HAM dan demokrasi modern ataupun dimensi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana
Pancasila dan diajarkan semua agama. Apakah ada manusia palsu? Kalau mau dimaksudkan
sebgai bagian dari proteksi politik bagi penduduk Pribumi Papua maka istilah
Orang Asli Papua harus ditinjau ulang. Karena itu, saya usul disini agar
kata-kata :"orang Papua asli" dalam UU Perdasus tahun 2010, diganti
dengan terma : "orang pribumi Papua, yang lebih demokratis dan dapat
dipahami semua lapisan masyarakat warga Papua dengan baik.
Istilah orang asli Papua adalah istilah pejoratif
yang merendahkan martabat manusia tidak sesuai dengan Pancasila sila 2,
'Kemanusiaan yang adil dan beradab', padahal yang harus menjadi penekanan
sesuai semangat dan tujuan UU Otsus Papua lebih pada aspek keadilan sosial sila
ke 5 Pancasila yakni : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Papua dalam kerangka
nasionalisme Papua dalam Indonesia. UU adalah dasar hukum tertinggi dalam suatu
pemerintahan.
Jika dianalisa secara cermat dengan menggunakan
filsafat hermeneutik, orang asli
Papua seakan-akan mengesankan yang lain manusia palsu, walaupun terminologi
bahwa yang dimaksud orang Papua asli tidak bermaksud yang lain manusia palsu.
Karena pada hakekatnya semua manusia Asli dan tidak ada manusia palsu atau asli.
Semua manusia asli.
Karena itu para ahli filsafat psikologi yang
bersibuk diri meneliti tentang watak manusia sejatinya makhluk Tuhan yang
bernama manusia adalah makluk yang senantiasa "membelum"(be coming)
atau "menyedang"(prossesing) terus menerus. Hewan berakal yang
disubut manusia itu senantiasa tanpa kesempurnaan adanya ("al-insanu makaanul khotho' wannisyaan"
: 'Manusia adalah tempat salah dan lupa' menurut Nabi Muhammad SAW. Jadi
hakikat sesungguhnya siapapun kita manusia, saya-kamu-dia-kami-mereka tanpa
pernah ada kesempurnaan paripurna (par
exelence).
Kalau kita meminjam istilah Driyakara manusia adalah
makhluk "menyedang" atau "membelum" senantiasa dari
generasi kegenerasi tanpa kesempurnaan paripurna. Jadi manusia adalah makluk
yang senantiasa berencana dari masa kini ke masa depan, penyempurnaan tanpa
kesempurnaan. Manusia dengan akalnya senantiasa merangcang dari masa kini
kemasa depan lebih baik (Respondeo
Ergo Sum). Affirmatif action tidak lain proteksi
politik bagi rakyat Papua, karena itu konklusi logika pikir ini dimaksudkan
bahwa UU Perdasus MRP secara ketatabahasaan maupun antara satu Pasal lain
antara satu ayat dan ayat lain banyak mengandung kerancuan harus disempurnakan.
*Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi
Muslim Pegunungan Tengah Papua (FKMPTP). Kontak HP : 081383418655