Kamis, 18 Agustus 2011

Give West Papua MSG membership: Sope
Posted on August 12, 2011 - 12:37pm | Category:

* Local News

TIV Byhompson Marango

Former Vanuatu Prime Minister who issued a challenging statement at UN Millennium Summit concerning the West Papuan’s struggle for Independence, Barak Sope, has called on Melanesian leaders to give West Papuans a place in the Melanesian Spearhead Group (MSG).

The Chairman of the Melanesian Progressive Party (MPP) who is also a staunch supporter for an Independent West Papua made the call this week to Melanesian political leaders and Governments to immediately take steps to address the issue of West Papuan struggle for independence from the Indonesian Government. “The most practical and the easiest the Governments could do would be to grant the Independence Movement membership in the MSG as they did to the FLNKS,” stated Sope.

“They have already granted Indonesia Observer Status and having West Papuans in the same MSG forum will allow serious debate to resolve the conflict,” he said. According to Mr Sope, the current situation in West Papua is as serious as it can be in its almost half a century history of struggle for Independence.

“The flood gates for freedom march are wide open and so are the risks of bloodshed. Peaceful demonstrations demanding referendum on Independence are getting larger and larger and widespread.

“On the 2nd of August thousands of people took to the streets in major cities and towns defying threats by the military and police. In the Capital Jayapura alone more than 10,000 people rallied at the Provincial Peoples Assembly.

“There are also demonstrations in Jakarta and in Europe.

“Interestingly for the first time in 49 years the fully armed military and police were much more subdued. But immediately the high command in Jakarta issued a serious warning that the might of the Indonesian Armed Forces would be moved to quell any further demand for Independence.

” Mr Sope further called on the Melanesian governments to rally behind the move made on the 19th July by the UK government, declared by David Howell as a response to Senator Richard Harries’ question in the British Parliament, followed by Mrs Hillary Clinton, the US Foreign Secretary’s statement in Bali, on 24th July this year, both to support and encourage an open and constructive dialogue between the Indonesian Government and West Papuan representatives to solve their political differences.

In his view, the Melanesian States should take more responsibility and be productive to seek a peaceful solution to this conflict instead of leaving it to others, simply because West Papua is part of Melanesia.

Mr Sope has again reminded Melanesia of the famous statement made by Solomon Mamaloni, former Prime Minister of the Solomon Islands when he received visiting OPM leaders in 1996. “Your struggle is our struggle, and if our generation does not do anything about it we would forever stand to be condemned by the future generations.”

Wednesday, August 17, 2011
Timorese students support West Papua. Three arrested in Dili.
A friend in Dili tells ETAN that police recently broke up a demonstration in support of West Papua. As we get more information, we will post updates on ETAN's blog here.

Police arrest Juvntina Correia Ximenes.
The morning of August 17, more than 30 Timorese students called for the right of West Papuan to self-determination and condemned human right violation by the Indonesian military and police against Papuans. The demonstration took place in front of Indonesia Embassy in Farol, Dili, on the 66th anniversary of Indonesia's independence proclamation.


Timor-Leste Police (PNTL) arrested three of the protesters -- Juventina Correia Ximenes, Domingos de Andrade and Letornino da Silva. All are currently studying at Timor-Lorosae National University, UNTL.

One of demonstrator, Nolasco Mendes, said that the PNTL treated the activists brutally. Police reportedly arrested the activist after the Indonesia Embassy asked the PNTL to stop the demonstration.

According to a Timornewsline report the pro-Papua protesters were members of the Students Solidarity Council (Dewan Solidaritas Mahasiswa Timor-Leste) which previously fought for Timor-Leste's independence.

Timor-Leste has a strict law on demonstrations which among other things requires four days notice and bans them within 100 yards of a government or diplomatic building.

Police vehicle removes students supporting West Papua from in front of Indonesian embassy in Dili.

Selasa, 02 Agustus 2011




FREE WEST PAPUA

Selasa, 26 April 2011

WALTANSCHAUUNG PAPUA MERDEKA

Ismail Asso*



Apa Falsafah Papua Merdeka?



Bagaimana format ideal weltanschauung yang dituangkan secara konstitusional sebagai suatu konsesus nasional bersama membangun kebangsaan Papua? Apa bentuk Negara Papua Merdeka? Dan bagaimana bentuk operasional idealisme kebangsaan nasional (nation state) para pemimpin gerakan Papua Merdeka? Pertanyaan inti ini sangat penting harus dijelaskan misalnya seputar apa sesungguhnya weltanschauung dari gerakan Papua merdeka? Kalangan awam Papua apalagi masyarakat urban tidak tahu tentang idealism para pemimpin soal weltanschauung Papua merdeka dalam kemajemukan rakyat dewasa ini.



Ideology suatu gerakan, apalagi urusan mendirikan Negara, sosialisasi soal ini penting dan mendasar agar bisa dimengerti, kalau tidak boleh bilang, bisa didukung semua pihak. Karena orang tanya; Apa konsep Negara Papua merdeka? Mengingat itu dan kenyataan, adakah Negara didunia yang masyarakatnya exclusive tertutup selain Negara komunis yang telah runtuh? Semua Negara modern menjamin kebebasan, keterbukaan, (inclusivisme) warganya berdaulat dalam arti demokratis dan menghargai hak asasi manusia beragam ras-agama.



Kalau begitu bentuk Negara diidealkan para pemimpin pejuang Papua seperti apa? Banyak bentuk tapi Negara baru berdaulat bukan berideologi komunis dan monarki otoriter (kerajaan) lebih memilih republic. Bentuk ini menjamin keterbukaan-kebebasan. Kedaulatan Negara ditangan rakyat. Republic (re-kembali, public-masyarakat umum, rakyat). Sejak revolusi politik Laicisme Prancis (liberty = kebebasan, humanity = kemanusiaan, egalirity = persamaan, dunia Eropa, Afrika, Asia dan Amerika, ada dua bentuk Negara dominant didunia ini, monarky dan republic dengan berbagai variasinya. Selain penting untuk kesepamahaman-keseragaman persepsi soal ini tujuannya gerakan tidak sporadis partial tapi konprehenshif tuntas sekaligus agar didukung dan dimengerti semua pihak.



Stigma OPM



Kesan selama ini bicara Papua Merdeka identik selalu dengan OPM. Tapi mendengar kata tiga huruf ini persepsi orang ada dua. Pertama, kelomppok pendukung. Bagi mereka mendengar kata ini mulia, herois, suci dan mati karenanya mau. Kelompok kedua, OPM harus dimusnahkan. Pelaku hukumnya selain harus ditangkap, disiksa, dipenjara. Bicara Papua merdeka adalah subversive maka pelaku, pengikut yang terlibat gerakan ini harus dibunuh mati aparat keamanan NKRI, TNI/POLRI.



Apa sebenarnya OPM itu? Apakah OPM hanya stigma militer konsumsi politik elit Negara ataukah ada yang lebih mendasar (substansial) dari itu sehingga wajib diketahui karena bicara hajat hidup (survival) orang banyak? Jika hanya stigma berarti dengan sendirinya ideology ini mulia tapi kalau sebaliknya maka harus dihapus karena itu harus ditinggalkan karena pada dirinya OPM negative. Tapi jika OPM maksudnya memperjuangkan hajat hidup orang banyak maka positive.



Disini penting dipertanyakan ulang agar kita tahu relevansi kata ini bagi kemajemukan dan perubahan konteks Papua kekinian untuk kedepan agar kekeliruaan persepsi orang yang terlanjur benar atau salah kaprah atas tiga huruf ini bisa diluruskan. OPM akronim; dari Organisasi Papua Merdeka, adalah suatu ideology gerakan pembebasan wilayah Papua dari politik integrasi NKRI atau politik aneksasi Soekarno tahun 1963 melalui PEPERA disaksikan UNTEA dibawah PBB.



OPM adalah ideology kemerdekaan bangsa Papua sebutan konvesional (umum) diluar masyarakat Papua lebih sebagai stigma negative daripada memahami idealisme ini sebagai alat (sarana) positive bertujuan memuliakan harkat dan martabat kemanusiaan sejati kebangsaan Papua. Tapi apa wadah resmi gerakan OPM bertujuan mendirikan Negara? Dalam arti organisasi khusus sebagai alat perjuangan untuk mendirikan negara Papua Merdeka berdaulat penuh. Selama ini banyak pihak belum tahu. Hal itu tidak saja tidak diketahui orang diluar Papua tapi rakyat Papua sendiri.



Melalui Kongres Rakyat Papua ke-II tahun 2000, lahir tokoh sentral anak Sentani, Ondofolo Theys Hiyo Eluay. Dikelilingi sejumlah tokoh intelektual bergelar doctor teologi dan organisator seperti Yorys Raweyai (Pemuda Pancasila). Rakyat menaruh harapan besar pada mereka. Masyarakat Wamena turun gunung jalan kaki berkilo-kilo 5 hari untuk menghadiri kongres. Theys mengajukan diri sebagai ketua PDP (Presedium Dewan Papua) dalam konres tersebut dan terpilih. PDP dinahkodai almarhum Theys Hiyo Eluay cukup berarti. Sejak martirnya tokoh ini, PDP mati total terkubur bersama sang martir Theys.



Kini parktis PDP tanpa aktifitas berarti. Misalnya untuk konsolidasi organ faksi-faksi internal OPM. Ada TPN dihutan lebih sebagai gerakan “tribalisme” daripada suatu gerakan modern yang siap dengan pendekatan perjuangan profesional. Hanya anak-anak muda bergerak dipinggiran kota sebagai gerakan anti tesis mengisi kekosongan pasca PDP dan TPN dihutan, lebih sebagai gerakan prustasi daripada gerakan siap, terencana, padu dan professional baik secara teoritis maupun dalam aksi. Demikian internal faksi organ perjuangan soal ini penting diketahui rakyat Papua untuk dibenahi kedepan.



Pertanyaan selanjutnya adalah apa weltanschauung (wawasan) semua faksi OPM yang mendasari para pemimpin, pejuang gerakan, bertujuan mendirikan Negara Papua Merdeka? Tanpa filsafat tak mungkin ada gerakan padu, tapi gerakan tanpa pemahaman nation state benar dan tepat, gerakan selalu kacau tak terarah. Sebagai akibatnya gerakan selain lemah, tidak padu, tapi juga sporadic partial dalam aksi-aksinya. OPM hanya sebutan umum, kalau begitu apa wadah resmi sebagai alat pemersatu banyak faksi perjuangan Papua Merdeka?



Jika ada tapi dalam banyak faksi, maka rekomendasi saya disini segera bentuk wadah formal refresentatif gabungan semua organ. Tanpa wadah formal indikasinya gerakan perjuangan seperti itu biasanya muncul banyak faksi. Claimm elit pemimpin faksi sebagai gerakan paling absah, paling berjuang dan lain sebagainya semacam itu. Sebagai akibatnya gerakan tidak maju-maju, korban rakyat terus berjatuhan tapi perpaduan gerakan perjuangan rapuh dan akibatnya berlarut-larut tanpa hasil.



Pihak luar anggap gerakan seperti itu sebagai gerakan kesukuan (tribalisme) bukan gerakan kebangsaan (nation state), bahkan ada yang anggap hanya protes biasa bukan bertujuan mendirikan negara adalah salah satu ciri gerakan pembebasan Papua Barat sedang terjadi kita saksikan bersama. Sejak dulu hingga kini, mungkin sampai nanti, OPM terus akan begitu terus, apabila tidak pernah ada kejelasan, apa konsep atau filsafat (weltanschauung), gerakan Papua merdeka.



Apa yang dimaksudkan disini selain tidak jelas bagaimana bentuk operasional konsep Negara Papua merdeka bagi para pejuang OPM dikalangan Gereja, teolog islam dan Kristen. Tapi juga penting diketahui public untuk dimengerti bagaimana bentuk operasional Negara Papua merdeka itu kelak merdeka. Apakah berbentuk republic kesatuan, seperti NKRI yang dipinjam dari filsafat Ernes Renan yang oleh Soekarno bukunya dibaca menjadi idealism kelak NKRI diproklamirkan meliputi Sabang-Merauke. Atau berbentuk negara serikat ala Thomas Jefferson seperti Amerika ataukah ada bentuk yang lain?



Kesan selama ini bicara urusan satu ini (baca Papua M) yang giat hanya kalangan teolog Gereja. Teolog islam misalnya pemimpin Ormas tak nampak terlibat jauh dalam soal perjuangan penegakan martabat kemanusiaan paling suci dan bernilai mulia disisi Tuhan ini. Ormas keagamaan satu ini, bagi mereka OPM sesuatu yang haram. Apakah karena tidak diikutkan sebagai bagian dari, atau dengan inisiatif sendiri tidak ambil bagian dalam proses itu, mereka tidak tertarik. Kesan akhirnya gerakan OPM bukan sebagai OPM tapi sebagai gerakan sectarian, kelompok cultur, keagamaan tertentu tanpa pelibatan lain.



Adakah didunia ini ada bentuk Negara teologi selain Negara islam yang terbelakang dan gagal karena tidak seragam seperti Sudan, Pakistan, Iran dan Arab Saudi yang masing-masing clieme diri sebagai Negara islam paling absah berdasar syari’at islam, tapi menampilkan wajah syari’ah berbeda malah lebih banyak menakutkan akhirnya dianggap -tuduhan Barat -melanggar HAM dan tidak demokratis? Vatikan di Italia tempat dimana Paus berdiam membawahi Keuskupan dunia diatur dari sana, ternyata lebih sebagai organisasi keagamaan bukan organisasi kenegaraan.



Jika demikian apa idealism konsep ketatanegaraan penggiat gerakan Papua merdeka dari kalangan teolog bagi masa depan Papua hendak dimerdekakan? Apakah bagi mereka Papua Merdeka, berarti mengharuskan mereka mengusir seluruh penduduk warga pendudukan sebagai orang non Papua dan islam? Hanya agama tertentu tanpa agama lain, dan jenis manusia tertentu tanpa manusia etnis lain. Agama dan jenis manusia lain tidak ada tempat, dalam arti tidak boleh ada, dalam Negara yang akan dibentuk oleh dominasi pejuang kelompok seragam agama tertentu?



Jika jawabannya tidak, tapi untuk semua, sebagaimana anti Apatheid di Afrika Selatan ada Syeik Yusuf Al-Makassari dari Sulawesi Selatan, Mahatma Gandhi dari India bersama Mandela dan Uskup Tutu atau perjuangan kemerdekaan Indonesia dan Timor Leste banyak pejuang keturunan Arab. Sebagai bagian dari etnis dan unit msayarakat satu dan sama bernama Papua kelak merdeka atau hendak diperjuangkan. Namun berdasarkan pengalaman, pengamatan dan penyaksian perjuangan soal ini, konsepsi, soal weltanschauung Papua Merdeka bagi kebanyakan penggiatnya menunjukkan bukti dan fakta lain.



Kenyataan aksi lapangan diperlihatkan gerakan perjuangan Papua selama ini warga sesama sipil, etnis dan agama tertentu dikorbankan, seakan mereka melarang atau menghambat atau mungkin karena begitu, mereka jarang tertarik, tidak ikut serta sehingga jangan boleh ada disini dan jangan terlibat. Pergerakan OPM jadinya hanya milik dan tanggungjawab etnis tertentu tanpa usaha melibatkan semua bahwa itu tanggungjawab holistic kemanusiaan manusia sejagad siapapun dan agama apapun manusia.



Kembali ke soal OPM, mendengar kata ini orang tertentu kata ini heroistik, membanggakan sebagai penegakan rasa keadilan dan kemanusiaan diri. Namun bagi yang lain kata ini mengerikan. Selain harus dimusnahkan, bagi pelaku terlibat hukumanya penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, akhirnya tembak mati. Terlibat OPM menuju pintu mengerikan, ditembak mati, bicara Papua merdeka hukumnya haram, pelaku terlibat gerakan ini melewati satu pintu dibunuh mati aparat keamanan NKRI, TNI/POLRI.



Nasionalisme Papua



Konsepsi mempengaruhi persepsi umum. Sejauhmana konsep gerakan Papua merdeka didukung masyarakat internasional sebagai sebuah gerakan kesukuan atau kebangsaan? Mengetahui ini urgensinya bagaimana konsepsi para ideolog menyadari, nilai positif, bahwa pluralitas masyarakat Papua beserta dinamika penduduknya adalah rahmat bagi kekuatan identitas kebangsaan Papua. Sebagai bangsa kemajemukan alat nasionalisme kebangsaan dalam proses demokrasi. Karena itu kemajemukan adalah kekuatan nasionalisme dalam pluralitas rakyat Papua.



Kemajemukan kenyataan alami yang wajar dalam dinamika sosial masyarakat manapun dunia. Demikian dengan rakyat Papua sebagai prasyarat utama dan terutama sebagai bangsa demokratis, metropolis, modern yang diidealkan bangsa-bangsa modern dewasa ini. Dengan adanya berbagai karakteristik sosial dan dinamika budaya Papua sebagai rahmat dan prasyarat utama Nasionalisme kebangsaan Papua.



Persoalannya adalah bagaimana merubah paradigma berfikir, persepsi internal rakyat Papua bahwa pluralitas (kemajemukan) bukan saja alami, tapi juga tercipta bernilai positif. Pandangan ini berarti mau memandang keseluruhan rakyat Papua, tanpa mempermasalahkan etnik, keturunan, marga, rambut, warna kulit, agama, bahasa sebagaimana keseluruhan nyata ada di Papua adalah satu kesatuan bangsa Papua. Demikian harusnya konsepsi nasionalisme Papua terwujud.



Papua sebagai bangsa sudah memenuhi syarat dengan infrasructur sosial beragam latarbelakang. Realiatas demikian sarana terwujudnya fatsun politik demokratis dan modern. Dinamika yang ada dalam masyarkat Papua sebagai dasar utama dan terutama (par exelence) sebagai sebuah bangsa kelak terbentuk. Pluralistas sebagai alat inovasi peradaban estetik maha unik, dari semua keindahan, karena menyangkut manusia dan disini letak seni keunikannya. Pluralisme selain alami sebagai sarana penting aktualisasi nilai-nilai demokrasi modern dalam pengertian sesungguhnya yang ideal.



Semua sebagai khasanah kekayaan sekaligus keunikan berharga. Tinggal bagaimana mendorongnya agar usaha independensi Papua sebagai sebuah bangsa berdaulat dapat terwujud didukung semua element Papua adalah tugas dan tanggungjawab seluruh komponent komunitas Papua tanpa kecuali. Darimanapun asal usul keturunanya, etnisnya, warna kulitnya, bahasa ibunya dan agamanya tetap satu orang Papua.



Papua Dan Tribalisme



Berbeda dari optimisme ini yang berpandangan sebaliknya, menganggap jika terbentuk suatu regime berkuasa tentu berpotensi polarisasi rakyat Papua secara dikhotomis. Demikian asumsi pesimistik bahwa bukan sebagai kekuatan nasionalisme Papua; sebaliknya polarisasi akhirnya diskriminasi; jadi, persepsi negatif, bahwa pluralisme masyarakat Papua adalah sektarianisme, tribalisme, dan primordialime akhirnya disintegrasi nasional Papua. Karena itu pembentukan nation Papua independent suatu hal muspra.



Mereka yang berpandangan begitu mempertahankan Papua bagian tak terpisahkan dari NKRI, suatu hal tragis. Penindasan, perampokan, perbudakan, pembunuhan, pembodohan yang kesemuanya itu pelucutan martabat manusia atas manusia, sedang terjadi didepan mata. Ulama islam Papua diam, seakan tidak ada pesan agama islam soal ini. Untuk refleksi sekaligus kejujuran nurani kita semua, saya perlu kutip, Syafi’i Ma’arif, Mantan ketua Muhammadiyah, seorang sejarawan, pemikir terkemuka Indonesia judul: “Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia Perspektif Islam”. Pendahuluan makalahnya dengan rasa syukur karena terbebas dari penjajahan politik dan militer tapi masih terjajah secara ekonomi dan budaya. Dia nyatakan itu setelah lewat beberapa hari perayaan HUT NKRI. Saya kutip:



“Kita baru saja merayakan Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI ke 50, setelah kita hidup dalam suasana penjajahan dan penindasan oleh berbagai kekuasaan asing dalam kurun waktu yang cukup lama”. Lebih lanjut Ma’arif angkat masalah substansial tentang identitas : “proses brain-washing atas kebudayaan suatu bangsa yang tidak memiliki sendi-sendi jati diri yang tangguh. Padahal, bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang berdaulat lahir batin, kedalam dan keluar. Indonesia secara militer dan politik telah merdeka 100%, sementara dibidang ekonomi dan budaya kita berada dalam tahap ujian yang cukup berat”.



Itu terjadi ada dalam Negara Indonesia, bagaimana dengan nasib bangsa Papua yang belum Merdeka? Negara merdeka berdaulat penuh seperti Indonesia masih begitu. Bagaimana dengan nasib bangsa Papua yang belum berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya? Coba simak berikut yang dia kutip tulisan Mostafa Rejai judul : ‘Nasionalism, East and West’ dari buku : ‘Ideologies and modern politics’, dalam Reo M Cristenson dkk, lengkapnya sbb :



“Sistem penjajahan adalah system eksploitatif dan destruktif. Rakyat terjajah diperlakukan sebagai sub-human, bukan sebagai manusia penuh. Alangkah keji dan kejamnya system serupa itu. Kolonialisme pada stadium ketiga; nasionalisme ekspansive. Pada stadium ini suatu bangsa melakukan aneksasi atau penaklukan terhadap negeri atau negeri-negeri lain. Imprealisme menampakkan berbagai bentuk : politik, ekonomi, dan cultural, dengan watak utamanya dominasi dan eksploitasi oleh suatu bangsa atas bangsa lain”.



Kita sulit membayangkan tapi semua yang dipaparkan Syafi’i kutipan diatas cukup mewakili kenyataan Papua sesungguhnya. Malah Papua lebih gawat dari paparan kutipan tulisan Ma’arif. Mengingat Papua sepenuhnya secara politik, militer, ekonomi dan budaya belum merdeka. Bagaimana Ma’arif bisa membayangkan jika dia tidak pernah menjadi orang Papua? Kalau kita mengkontraskan tulisan syafi’i antara Indonesia dengan bangsa Papua, maka Papua sesungguhnya sudah diambang kehancuran menuju proses genosida. Saya kutip agak panjang agar menjadi refleksi kita.



Tapi mengapa? Malah sebaliknya menganggap lebih baik mengintegrasikan diri didalam nation yang telah ada, serta menerima kedholiman sebagai jalan terbaik dari pilihan lain (memuliakan kemanusiaan manusia Papua) yang dichotomi oleh akibat polarisasi dalam kemajemukan yang beresiko, diskriminatif dan otoriter mayoritas regime. Demikian pandangan sementara yang pesimistik.



Asumsi ini bisa dibenarkan bahwa masyarakat Papua yang tersebar Pegunungan Tengah disatu pihak dan Pesisir-Pulau dilain pihak dan urban selalu ada ruang, nuansa distingtif, dalam budaya, bahasa tapi juga persepsi kebangsaan. Demikian paradigma pendekatan perjuangan Papua Merdeka. TPN/OPM violence dan PDP/DAP disubdience adalah fakta yang tidak saja memperkuat asumsi pihak lain adanya faksi yang menimbulkan ketidakmampuan Papua menentukan nasib sendiri. Itu logika pesimisme realitas tak terbantahkan bahwa Papua belum mampu, terlepas dari aneksasi Indonesia. Karena itu mereka tidak mendukung malah menghambat.



Pluralisme adalah natural kemanusiaan, yang senantiasa ada dimana-mana berdimensi univerasal. Pluralitas keniscayaan manusia dimana, dan pada masyarakat bagaimanapun. Pluralisme harus, karena itu ada, tidak bagaimana, tapi itulah realitas kemanusiaan yang manusiawi selalu. Papua ditambah dengan anasir-anasir baru dalam proses idealisme sebagai satu kesatuan bangsa terbentuk oleh aneka warna kebudayaan yang masuk menyatu dalam budaya papua.



Akulturasi dan inkulturasi akibat urbanisasi tentu dengan sendirinya tercipta peradaban baru Papua. Adaptasi terus menerus oleh transformasi nilai-nilai baru positif, adat dan kebudayaan Papua tetap dipertahankan. Memelihara dan mempertahankan nilai-nilai lama baik dan menggambil baru lebih baik adalah suatu keharusan bagi kita. Nasionalisme Papua, dengan demikian secara harmonis akan tercipta pada masa-masa kedepan ini.



Karena itu optimisme selalu harus dimiliki orang Papua tanpa menganggap hal itu sebagai negatif. Sebab apa yang dinamakan demokrasi dalam pengertian universal akar-akarnya sudah ada dalam budaya kita, budaya Papua, secara keseluruhan (Ismail Asso, Nasionalisme Papua, 2006). Tidak satupun, budaya kita, budaya Papua mengajarkan diskriminasi antar sesama manusia.



Bahaya Dikhotomi



Dikhotomisasi yang berpotensi polarisasi yang berakibat disintegrasi internal Papua harus diarahkan pada persepsi potisif adalah usaha senantiasa dan terus menerus sebagaimana pengertian demokrasi difahami dewasa ini. Bahaya benturan kebudayaan dalam pembentukan nasionalisme Papua yang demokratis dalam era kedepan ini harus dikelola baik. Karena secara kasat mata terkesan menyatu dalam permukaannya namun tidak demikian yang berkembang dibawah kesadaran yang tidak teramati.



Demikian itu mengawatirkan akibat negative-nya menimbulkan polarisasi, tidak saja pada tataran interaksi sosial masyarakat bawah/awam namun demikian dapat terjadi pada level elit intelectual. Padahal idealnya, sebagai kelompok elit terdidik dasar-dasar gerakan perjuangan selalu merujuk pada konteks sosial budaya Papua, guna membangkitkan nasionalisme Papua, tanpa terjebak pada simbol-simbol sektarian. Para elit intelectual sebagai konseptor seharusnya tidak, karena itu memang jangan, terjebak pada polarisasi yang terkesan sektarianme antara sesama warga Papua.



Egosentrisme elit intelectual terkemuka Papua yang diikuti dan teramati, sejauh yang nampak kesan demikian ada, tidak menutup kemungkinan tidak ada harus benar-benar tidak boleh ada, karena memang tidak baik ada, yang memang ada itu. Sektarianisme bermula dari egosentriisme pemahaman dan pandangan serba mutlak; mutlak kebenaran, mutlak pemahaman, mutlak kebaikan, tanpa ada ruang dialektika. Karena itu selalu dogmatis, tertutup, tanpa ada redefinisi atau reintrepretasi nilai-nilai doktrin sesuai kontek sosial kecuali selalu harus mutlak benar sendiri.



Demikian itu dapat terjerumus pada thrus cliem, diri sendiri yang paling benar. Kebenaran diborong sendiri, seakan orang lain tidak punya kebenaran. Pandangan menyangkut Papua Merdeka bila yang ada model pandangan begini, sekalipun memang yang ada demikian, maka bukan tidak mungkin kita hanya menunggu waktu, semua kekayaan Papua habis, dikuras, dirampok asing internasional.



Perjuangan hanya tinggal perjuangan, tidak ada yang tersisa. Lalu dimana peran dan tanggungjawab kita? Sebagai Intelektual, Pendeta, Pastor, Ulama dan Cendikiawan Papua? Agar kekayaan alam Papua yang kaya raya ada tersisa sedikit demi anak cucu nanti? Mengapa membiarkan diri terus mati dibunuh, HIV/AIDS, tidak ada lagi generasi muda usia produktif tersisa? Tidak sadarkah kita orang Papua hanya menunggu mati menuju genosida (kepunahan) abadi?



Sektarianisme akibat egosentrisme, biasanya bermula dari anggapan subyektif, benar mutlak sendiri, trush cliem seperti itu menimbulkan disintegrasi antar sesama komunitas Papua kedalam, (internal Papua), pada akhirnya menjadi tidak produktif dalam kondisi Papua harus berjuang memebaskan diri. Kedepan kesediaan tokoh membuka diri memikirkan masa depan Papua mutlak perlu disini urgensinya tema ini diangkat disini.



Primordialisme



Adalah alami, kodrati, bahwa manusia adalah pribadi otonom, sejak lahir, kita mengenal mulai dari Ibu-ayah, kerabat dekat, orang sekampung dan seterusnya sebagai sesama warga negara. Semua itu alami apa yang dinamakan primordialisme. Melalui lingkungan, interaksi sosial pribadi otonom menjadi terabaikan sejak kita berinteraksi dengan nasionalisme, namun primordialisme selalu dan selamanya mengingatkan kita pada akar dimana melaluinya kita ada. Masa tertentu kita rindu, begitu tiba-tiba menghadapi masalah, untuk kembali mengadukan kepada orang yang paling terdekat.



Ketika merantau, jauh dari kampung halaman, kita rindu ingin pulang kampung, ingin berkumpul dengan orang terkasih. Maka yang demikian itu adalah unsur primordialisme positif alami. Namun yang negatif adalah primordial kesukuan, egosentrisme, menganggap diri, suku dan kelompok sukunya yang hebat, dan karena itu tidak mau menerima sesuatu kebenaran kalau sumbernya bukan dari kebenaran kelompoknya.



Nasionalisme Papua harus dikontruksi dari nilai-nilai budaya Papua sendiri. Guna memupuk persatuan dan kesatuan bangsa, sebagai Bangsa Papua, bertanah air tanah Papua. Bangunan yang kita sebut sebagai Nasionalisme papua adalah rasa solidaritas antar sesama anak bangsa Papua yang majemuk dari masyarakat pegunungan, lereng, lembah, pesisir, pulau, pendatang dll.



Keunikan alami primordial hanyalah faktor kebetulan, tanpa pernah kita merencanakanya dalam arti untuk kita menjadi berbeda secara dikhotomis negatif. Semua adalah hukum alam, semua begitu saja adanya, mengalir, dan kita hanya mendapati itu baru setelah bertemu dengan yang lain, akhirnya, kita mendapati diri, lalu mengindentifikasi diri sebagai Si Ismail Asso, karena mengetahui primordial diri otonom dan pada saat sama memiliki potensi ingin mengenal yang lain. Manusia sepenuhnya pribadi social butuh orang lain. Mengenal, mencari tahu, mulai dari tanda, simbol, sampai belum usai habis usia. Primordialisme adalah hal yang sifatnya alami ada dengan indentifikasi sebagai nama, agama, marga ini-itu.



Primordialisme adalah sesuatu keunikan pribadi yang sudah ada dalam diri ketika tiba-tiba mendapati diri ada, hadir dimuka manusia lain, baik kerabat, saudara dekat-jauh maupun orang baru. Ada aspek melekat dalam diri manusia ingin mengenal. Akhirnya mengerti siapa saya, maupun dengan sesama yang secara bersama mendiami suatu wilayah dalam hal ini Papua. Nasionalime Papua adalah rasa kesatuan dan persatuan akar-akarnya digali dari aspek kesukuan yang bersifat primordial positif.



*Disini saya hanya memberikan inspirasi positive atau negative terserah orang menilainya. ‘Qulil haq walaw kana muran’ (Artinya : “Katakalah olehmu soal kebenaran walaw itu pahit akibatnya”. Al-Hadits).

*Ismail Asso : Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua adalah kelahiran Walesi Wamena pernah belajar di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Parung Bogor dan Mantan Qori Nasional utusan Propinsi Papua (Irian Jaya) tahun 1988 di Bandar Lampung Sumatera.

Minggu, 24 April 2011

FREE WEST PAPUA

Jumat, 11 Maret 2011

Thursday, February 24, 2011
Belajar dari Filep Karma
Pelanggaran hak asasi manusia Papua oleh negara Indonesia.

Tahanan politik Papua Barat Filep Karma bersama mamanya, Eklefina Noriwari, sudah usia 75 tahun, di rumah sakit PGI Cikini, Jakarta, pada Juli 2010, ketika Karma menjalani operasi prostate. Pada 3 Desember 2010 Karma dipindah ke tahanan Polda Papua menyusul terjadi kerusuhan dalam penjara Abepura. ©Andreas Harsono

I

PADA suatu Minggu Desember 2008, saya berkunjung ke penjara Abepura, sebuah bangunan Belanda di sebuah bukit Port Numbay. Penjara ini menarik karena ada surat dari beberapa organisasi Papua kepada UN Special Rapporteur on Torture Manfred Nowak dimana mereka menerangkan berbagai macam siksaan dalam penjara. Ada tahanan dipukul dengan gembok sehingga kunci menembus mata kanan si tahanan. Para pelaku, tiga orang sipir penjara, tampaknya immune dari hukuman. Tendangan dan pukulan terkesan masalah biasa di Abepura. Air minum juga masalah. Makanan bermutu buruk.

Minggu yang tenang. Saya melewati tempat pemeriksaan. Anthonius Ayorbaba, kepala penjara, minta semua barang ditaruh di tempat penitipan. Saya pun dipersilahkan masuk dalam aula penjara, bergabung dengan sekitar 30 pengunjung, yang hendak merayakan ibadah Minggu. Pendeta naik ke mimbar. Bernyanyi. Berdoa. Mendengar khotbah.

Seorang lelaki duduk dekat saya. Brewok lebat dan memakai bendera Bintang Kejora kecil di dada. Namanya, Filep Karma, seorang tahanan politik Papua. Saya berbisik bahwa saya seorang wartawan, sedang cari bahan soal siksaan dalam penjara. Ibadah selesai. Dia memperkenalkan saya kepada beberapa tahanan politik lain: Ferdinand Pakage dan Luis Gedi.

Pakage berbadan besar, kulit hitam, orang Mee. Mata kanan terlihat kempes. Dia tidak bicara banyak. Dia hanya cerita kepala sering pusing sesudah mata kanan dia ditusuk kunci oleh seorang sipir penjara pada September 2008. Dua sipir lain menendang dan memukul dengan tongkat karet. Pakage dipenjara karena dinyatakan bersalah bunuh polisi bernama Rahman Arizona dalam demonstrasi depan kampus Universitas Cendrawasih pada 16 Maret 2006. Pakage bilang dia ada di rumah saat kejadian. Polisi menangkap dia pada petang hari 16 Maret. Polisi menyiram air panas ke badan Pakage. Mereka memukul dia hingga berdarah dari kepala, bibir, kaki, tangan dan badan.

Pakage berpendapat kesaksian dari dua orang, yang dihadirkan jaksa terhadap dirinya—terdiri dari Luis Gedi (teman Pakage) dan Alia Mustafa Samori (seorang polisi)— tak bisa dipercaya. Polisi menangkap dan menyiksa Gedi ketika dia pulang dari toko siang itu. Gedi seorang penjaga toko. Petang itu dia mengantar seorang kawan perempuan, etnik Minahasa, pulang ke rumah karena keadaan tegang. Gedi bilang pada saya dia terpaksa mengaku bunuh polisi Rahman Arizona. Polisi mendesaknya kasih nama tersangka lain. Gedi asal bicara dan sebut nama kawan dia: tukang parkir Ferdinand Pakage.

“Dong polisi ada lebih 20 pukul sa. Sa bilang sa buang pisau depan kampus. Tra tahan dipukul.”

Ketika polisi membawa Pakage ke kampus, tentu saja, mereka tak menemukan pisau. Seorang perwira polisi menembak kaki Pakage. Dia lantas mengarang cerita pisau ada di rumah. Maka polisi pun mencari pisau. Dapat pisau Kiwi milik mama Pakage.

Papa Ferdinand, Petrus Pakage, mengatakan kasus anak dia, “Semua itu tipu-tipu. Saya menandatangani dokumen itu dan menyerahkan kaos dan pisau dapur. Tapi pisau itu dipakai buat potong sayur. Dorang pu mama selalu simpan di rumah.”

Di pengadilan Abepura, Ferdinand Pakage dihukum 20 tahun penjara. Tanpa ada satu pun saksi dari pihak Pakage.

“Dorang pengacara tra bela,” katanya.

Filep Karma sendiri orang Biak, pegawai negeri berumur 51 tahun. Dia ditahan sejak Desember 2004. Karma adalah anggota keluarga elite di Papua. Ayahnya, Andreas Karma, termasuk bupati paling populer di Papua. Dia menjabat bupati Wamena pada 1970-an serta Serui pada 1980-an. Pada 1979, Filep Karma studi ilmu politik di Universitas Sebelas Maret, Solo, Pulau Jawa. Dia lulus 1987 dan mulai bekerja sebagai pegawai negeri di Port Numbay. Dia menikah dengan Ratu Karel Lina, seorang perempuan Melayu-Jawa, kelahiran 1960 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Pada 1997, Karma menerima beasiswa untuk mengikuti kursus 11 bulan di Asian Institute of Management, Manila. Ketika terbang ke Jakarta pada Mei 1998, dia mempelajari protes mahasiswa Universitas Trisakti terhadap pemerintahan diktator Suharto. Dia hanya dua hari ada di Jakarta ketika aparat keamanan menembak mati beberapa mahasiswa Trisakti.

“Kalau terus ikut Indonesia, penduduk asli Papua akan terus dianiaya. Mungkin 20 hingga 30 tahun lagi sudah habis kebudayaan Papua. Artinya, orang Papua juga sudah habis,” katanya.

Sekembali ke Papua, Karma mulai mendukung secara terbuka kemerdekaan Papua. Pada 2 Juli 1998, dia ikut mengatur aksi pro-kemerdekaan dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di kota Biak. Human Rights Watch dalam laporan Human Rights and Pro-Independence Actions in Irian Jaya melaporkan bahwa seorang sersan polisi masuk ke kalangan demonstran. Dia dianggap hendak provokasi. Dia dipukul dan beberapa gigi patah. Ini menciptakan bentrok. Polisi berusaha membubarkan demonstrasi, selama empat hari.

Pada 6 Juli 1998, militer Indonesia mengambil-alih Pulau Biak, mendatangkan bantuan dari Batalion 733 Ambon dan menembaki para pengunjuk rasa dari empat sisi. Jumlah korban tewas belum diketahui. Banyak mayat dilaporkan dimuat ke dalam truk dan diduga dibuang ke laut dari dua kapal TNI Angkatan Laut. Karma menduga banyak mayat dikubur seadanya di pulau-pulau kecil dekat Biak. Dia memperkirakan lebih dari 100 orang terbunuh. Pemerintah Indonesia tak lakukan penyelidikan serius atas insiden itu.

Karma terluka di kaki oleh peluru karet. Polisi menangkap 150 orang. Hanya 19 diadili termasuk Karma. Mereka menahan Karma dari 6 Juli sampai 3 Oktober 1998. Pada 25 Januari 1999, pengadilan negeri Biak menyatakan dia bersalah dengan tuduhan makar karena memimpin aksi dan pidato. Pengadilan Biak jatuhkan hukuman penjara 6,5 tahun. Karma ajukan banding. Dia bebas demi hukum pada 20 November 1999.

Dia kembali bekerja sebagai pegawai negeri. Pekerjaan Karma terutama melatih calon pegawai negeri di Papua. Dia banyak bicara pada mahasiswa. Dia mengatur program pelatihan dimana orang muda belajar soal sistem administrasi, hukum maupun birokrasi Indonesia.

Pada 1 Desember 2004, sesudah yakin program otonomi Papua disabot oleh pemerintah Indonesia, antara lain lewat pemecahan Papua dalam banyak kabupaten, Karma mengorganisir sebuah upacara peringatan 1 Desember 2004 —untuk menandakan ulang tahun kedaulatan Papua pada 1 Desember 1961. Peristiwa ini dihadiri ratusan pelajar dan mahasiswa Papua, yang berteriak “merdeka!” serta memasang bendera Bintang Kejora. Mereka juga menyerukan penolakan terhadap otonomi yang dinilai gagal.

Polisi membubarkan paksa unjuk rasa itu. Bentrokan pecah dan kerumunan orang menyerang polisi dengan balok kayu, batu dan botol. Polisi merespon dengan tembakan ke arah kerumunan. Karma segera ditahan dan dituduh makar. Pada 27 Oktober 2005, pengadilan negeri Abepura menghukum 15 tahun penjara. Rekannya, Yusak Pakage, divonis 10 tahun penjara.

Kini Filep Karma mungkin satu dari pemimpin Papua yang paling populer. Dia diterima di kalangan orang Pegunungan Tengah dan kaum pesisir. Dia tak pernah menganjurkan kekerasan untuk mencapai tujuan itu. Dia berkata, “Kami ingin membuka suatu dialog yang bermartabat dengan pemerintah Indonesia, suatu dialog antara dua orang bermartabat, dan bermartabat berarti kami tidak pakai cara-cara kekerasan.”

Karma menganjurkan saya bezoek Yusak Pakage di rumah sakit Abepura. Ketika keluar dari penjara, saya naik taxi menuju rumah sakit, untuk bertemu Yusak Pakage. Dia cerita bagaimana dia dipukul dalam penjara. Pakage bilang sejak Anthonius Ayorbaba menjadi kepala penjara, dua bulan lalu, dia minta waktu bisa bicara dengan Ayorbaba. Kami cerita panjang dan lebar. Tak kami sangka, tiba-tiba Ayorbaba datang ke kamar Yusak Pakage, tanya kesehatan lantas mengajak baca Bible dan berdoa. Saya mohon undur diri. Pakage sempat mengeryitkan mata pada saya.

Perkenalan ini merupakan awal dari serangkaian interview saya terhadap para tahanan politik di Papua untuk Human Rights Watch. Saya juga bikin interview di Sentani, Manokwari, Fakfak, Nabire maupun Wamena. Selama setahun lebih, saya mengumpulkan berkas-berkas para tapol, belakangan juga para tapol Alifuru dari Kepulauan Ambon. Menurut anthropolog George J. Aditjondro, etnik Papua dan Alifuru disebut “Melanesia Barat.” Nama Melanesia berasal dari kata Latin “melano” (hitam) dan “nesos” (kepulauan). Artinya, kepulauan milik orang-orang berkulit hitam. Saya suka istilah itu: tahanan politik Melanesia. Saya wawancara lebih dari 50 tapol Melanesia di Indonesia, antara 2008 hingga 2010, selama setahun lebih.

Human Rights Watch menerbitkan penelitian ini pada Juni 2010 dengan judul, Prosecuting Criminal Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners. Laporan ini minta pemerintah Indonesia membebaskan lebih dari 100 tahanan politik di Papua maupun kepulauan Maluku. Mereka dinilai tidak bersalah. Mereka hanya menyatakan aspirasi mereka untuk merdeka dari Indonesia. Menyatakan pendapat adalah bagian dari kebebasan berpendapat. Ia dilindungi hukum Indonesia maupun International Convenant on Civil and Political Rights, sebuah traktat internasional, yang diratifikasi Indonesia pada 2006. Pada 16 Agustus 2010, 25 organisasi hak asasi manusia dari Amerika Serikat, Australia, Eropa, Indonesia dan Timor Leste mengirim surat dan minta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membebaskan para tapol Melanesia. Mereka termasuk Aliansi Nasional Timor Leste Ba Tribunal Internasional, Australia West Papua Association Melbourne, Free West Papua Campaign UK, Freunde der Naturvolker e.V., Human Rights Watch, Kontras, Land is Life, La'o Hamutuk (Timor Leste), Perkumpulan HAK, Tapol dan West Papua Advocacy Team.

Namun pemerintahan Presiden Yudhoyono tak menganggap penting untuk membebaskan orang-orang yang tak bersalah ini. Di Jakarta, dia malah dapat kontroversi karena memberikan remisi kepada 300an koruptor, termasuk besan dia sendiri, Aulia Pohan, yang langsung bebas dari penjara. Tampaknya, Yudhoyono lebih suka membebaskan koruptor Indonesia daripada tapol Melanesia.

II

SUATU hari pertengahan Juli 2010, sebulan sesudah peluncuran laporan Human Rights Watch, Izumi Kurimoto dan saya mengunjungi Seichi Okawa di daerah Takadanobaba, Tokyo. Okawa-san adalah direktur Graha Budaya Indonesia (Indonesian Culture Plaza atau インドネシア文化宮), sebuah bangunan tiga tingkat, yang bekerja soal kebudayaan di Indonesia. Lantai satu dijadikan toko dimana dijual macam-macam batik Jawa, tenun ikat Sunda Kecil maupun berbagai barang kerajinan Papua. Ada lukisan Sentani, ada ukiran Asmat. Kami mengobrol sambil minum kopi Wamena. Enak sekali. Kurimoto, seorang mahasiswa, sibuk memotret.

Okawa cerita riset dia soal 40,000 tentara Jepang, yang meninggal di Papua, pada zaman Perang Dunia II. Dia mengatakan sekitar 15,000 kerangka serdadu ada di Pulau Biak. Kebanyakan mereka meninggal karena terkena penyakit atau kelaparan dalam perang menghadapi Sekutu.

Menurut buku An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua karya P. J. Drooglever, satu divisi Angkatan Darat Jepang dipusatkan di Manokwari pada 1942. Mereka terutama ditugaskan mencegah serangan udara Sekutu. Pasukan Jepang tak masuk ke pedalaman Papua karena ada pasukan-pasukan kecil Belanda yang gerilya di pedalaman. Namun mereka dikalahkan pasukan Sekutu, yang lompat katak, dari Australia, Papua New Guinea, Papua, kepulauan utara Maluku dan Filipina, sebelum masuk ke Okinawa, kepulauan Jepang, pada April-Juni 1945. Gerakan lompat katak ini membuat ribuan pasukan Jepang terlantar di Papua dan kepulauan Maluku karena markas-markas mereka dihancurkan. Mereka melarikan diri sambil kelaparan dan kena malaria.

Saya pernah tahu ada gua di Biak dimana orang bilang kerangka-kerangka serdadu Jepang berserakan. Warga Biak tidak mengutak-atik gua itu. Okawa juga pernah berkunjung ke gua itu.

Sekutu menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Jepang menyerah kalah. Di Pulau Jawa, para pejuang kemerdekaan memanfaatkan kekalahan Jepang dari Sekutu untuk menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945. Namun ia perlu waktu empat tahun guna diplomasi antara Indonesia, dipimpin oleh Sutan Sjahrir, dengan Kerajaan Belanda.

Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Namun Papua masih di bawah administrasi Kerajaan Belanda. Belanda mempersiapkan sekelompok elite Papua untuk bisa mengatur diri mereka sendiri. Asumsinya, Papua akan diakui kedaulatan pada 1970. Pada 1 Desember 1961, Papua Raad, sebuah lembaga yang disponsori kerajaan Belanda, menyatakan masyarakat Papua siap mendirikan sebuah negara berdaulat, dan mengibarkan bendera nasional baru yang dinamakan Bintang Kejora.

Keputusan itu membuat Presiden Soekarno marah besar. Dia berpendapat Papua harus menjadi bagian dari Indonesia dan menuduh Kerajaan Belanda berusaha menciptakan “negara boneka” di Papua. Pada 19 Desember 1961, dari kota Jogjakarta, Soekarno memerintahkan pasukan Indonesia untuk menyerbu Papua. Dia memakai slogan “dari Sabang sampai Merauke” –sebuah slogan yang sebenarnya ciptaan perwira Belanda J.B. van Heutsz, yang menaklukkan Aceh pada 1904, dengan sadis 2,900 orang dibunuh, termasuk 1,100 perempuan dan anak-anak. Pada awal 1962, pasukan Indonesia mulai menyusup ke Papua. Ini menciptakan gelombang pengungsi ke Papua New Guinea. Pemerintah Amerika Serikat turun tangan. Setelah negosiasi, Indonesia dan Belanda pun setuju menunjuk PBB mengadakan sebuah referendum bagi Papua. Indonesia minta bukan referendum tapi “musyawarah” ala Indonesia.

Eni Faleomavaega, anggota Kongress Amerika Serikat, dalam hearing soal Papua pada 22 September 2010, mengutip data Congressional Research Service, “… declassified documents released in July 2004 indicate that the United States supported Indonesia’s take-over of Papua in the lead up to the 1969 Act of Free Choice even as it was understood that such a move was likely unpopular with Papuans. The documents reportedly indicate that the United States estimated that between 85% and 90% of Papuans were opposed to Indonesian rule and that as a result the Indonesians were incapable of winning an open referendum at the time of Papua’s transition from Dutch colonial rule. Such steps were evidently considered necessary to maintain the support of Suharto’s Indonesia during the Cold War.”

Penentuan Pendapat Rakyat, yang diawasi PBB dan direkayasa Amerika Serikat serta Indonesia, berlangsung dari 14 Juli hingga 2 Agustus 1969 di delapan kota: Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Biak dan Port Numbay. Ia hanya diwakili sekitar 1,025 warga Papua, termasuk sebagian orang Indonesia yang dikirim ke Papua. Semua ditentukan pemerintah Indonesia. Mereka dikumpulkan terlebih dahulu oleh tentara Indonesia dalam barak-barak selama enam minggu. Mereka diminta memilih Indonesia … atau dibunuh. Maka mereka bulat-bulat 100 persen memilih integrasi dengan Indonesia. Banyak penduduk Papua memandang Penentuan Pendapat Rakyat merupakan manipulasi Indonesia untuk menduduki Papua.

Dua minggu sesudah kejadian, 16 Agustus 1969, dalam sidang dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat di Jakarta, Presiden Soeharto, yang menggantikan Soekarno, menjanjikan otonomi kepada warga Papua. Dalam pidato Soeharto mengatakan, “Saat ini, dengan selesainya Pepera kita semua telah menunjukkan kepada dunia bahwa seluruh rakyat Indonesia yang berdiam di wilayah-wilayah dari Sabang sampai Merauke, merupakan suatu keluarga bangsa yang tak dapat dipisahkan lagi, Bangsa Indonesia. Tetapi Pepera bukan tujuan akhir kita .… Masalah yang paling penting adalah PEMBANGUNAN daerah Irian Barat secara serentak ... Irian Barat pun segera akan menerima kedudukannya sebagai DAERAH TINGKAT I dengan OTONOMI yang riil dan luas.”

Pada 6 November 1969, Sekretaris Jenderal PBB U Than menyampaikan hasil “musyawarah” kepada Sidang Umum PBB, atau United Nations General Assembly, forum tertinggi perserikatan negara-negara seluruh dunia. Hasilnya, dibicarakan dalam sidang-sidang pada 13 hingga 19 November 1969. Menteri Luar Negeri Adam Malik kuatir melihat “suara Afrika” –termasuk Botswana, Lesotho, Swaziland, Zambia, Togo, Ghana dan Dahomey-- dalam sidang-sidang PBB. Dia minta pemerintah Britania agar membantu lobby terhadap negara-negara Afrika, yang kritis terhadap hasil Penentuan Pendapat Rakyat, agar mau bicara sendiri dengan delegasi Indonesia. Belgia, Indonesia, Luxemburg, Malaysia, Belanda dan Thailand membuat draft resolusi PBB guna menerima hasil musyawarah di Papua. Akhirnya, ketika voting diambil, 82 negara menerima resolusi dan 30 abstain. Tak ada satu pun negara menolak resolusi PBB soal Papua.

Ternyata pembangunan praktis tak dijalankan untuk warga Papua. Kekerasan mewarnai tahun-tahun pemerintahan Soeharto di Papua. Pada 1970an, rezim Soeharto memberlakukan policy represif terhadap Organisasi Papua Merdeka. Dia menunjuk perwira-perwira militer untuk memerintah Papua. Setiap kali ada protes dijawab dengan kekerasan.

Perusahaan-perusahaan internasional masuk dan melakukan eksplorasi alam dalam ukuran raksasa. Freeport McMoran, sebuah perusahaan New Orleans, membangun tambang emas paling besar dunia di Grasberg, Timika. Ironis, Freeport tanda tangan kontrak tambang dengan Indonesia pada 1967 ketika Papua masih belum resmi jadi wilayah Indonesia. Menurut data 2008 dari Nindja, sebuah NGO Tokyo, tiga perusahaan Jepang memegang 75 persen saham di kilang tembaga Gresik. Kebanyakan tembaga untuk Gresik berasal dari tambang Freeport di Papua. Mitsubishi Materials memiliki saham 60,5 persen, Nikko Metal 5 persen, dan Mitsubishi 9,5 persen. Sekitar 50 hingga 60 persen tembaga dari Grasberg diekspor ke Jepang. Menurut harian New York Times, Freeport jadi sapi perah operasi militer Indonesia di Papua. Freeport rutin sumbang dana untuk keperluan militer Indonesia di Papua.

Pada November 1983, militer Indonesia menangkap musikus Arnold Ap dari Universitas Cenderawasih di Port Numbay. Kesalahan Ap? Dia mengumpulkan dan merekam musik-musik dari berbagai etnik Papua, sekaligus dalam bahasa-bahasa asli mereka. Macam-macam lagu ini lantas diproduksi dan diedarkan lewat pasar bebas. Lagu-lagu ini dianggap membantu pembentukan nasionalisme Papua. Dia disekap dan dianiaya dalam sebuah bekas toko, yang dijadikan markas rahasia militer. Belakangan, militer serahkan Ap pada polisi.

Menurut dokumen pengadilan dan kesaksian seorang polisi Papua, pada malam 21 April 1984, seorang penjaga, Pius Wanem, membius dua polisi dan membuka kunci sel. Wanem, Arnold Ap dan empat tahanan lain, naik taksi pergi ke pantai Base-G di Port Numbay, menunggu kapal yang akan membawa mereka ke Papua New Guinea. Mereka menunggu di sebuah gua. Wanem sendiri kembali ke Port Numbay. Dia belakangan kembali ke pantai dengan beberapa tentara. Dalam persidangan, Pius Wanem mengatakan Arnold Ap dan seorang tahanan tewas dalam "operasi Kopassandha." Kopassandha singkatan dari Komando Pasukan Sandi Yudha, sebuah pasukan khusus Indonesia. Arnold Ap mati ditembak di perut. Ini menciptakan ketakutan. Gelombang pengungsi ke PNG mulai lagi.

Pada Juni 1984, Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja mengatakan dalam konferensi pers bahwa Ap dicegat di laut ketika kapal melarikan diri. Patroli minta mereka menyerah. Perahu Ap tiba-tiba menembaki kapal patroli, yang menyebabkan kapal patroli menembak balik, termasuk Arnold Ap. Kusumaatmadja menuduh Arnold Ap sebagai “separatis OPM.”

Okawa-san juga mengingatkan saya pada Teruko Wanggai, perempuan Jepang yang menikah dengan cendekiawan Papua Dr. Tom Wanggai di prefecture Okayama. Di Port Numbay, Dr. Wanggai memperkenalkan bendera pro-kemerdekaan “Melanesia Barat” pada 14 Desember 1988. Bendera ini berbeda dari bendera Bintang Kejora versi 1961. Wanggai juga memakai terminologi "Melanesia Barat." Dia meninggalkan Bintang Kejora dengan alasan bendera itu bikinan orang Belanda dengan tiga warna Belanda: biru, merah, putih. Orang Papua biasa sebut bendera Wanggai sebagai “Bintang 14” karena ada 14 bintang.

Belanda atau bukan, Wanggai ditangkap dan dihukum 20 tahun penjara. Pada 1995, saat ditahan dalam sel penjara Cipinang, Jakarta, dia mengeluh sakit. Namun dia tak segera diberi bantuan medis. Wanggai meninggal pada 12 Maret 1996 di rumah sakit Jakarta. Port Numbay dilanda protes besar ketika jenazah Wanggai tiba dari Jakarta.

Setelah Presiden Suharto mengundurkan diri pada Mei 1998, pemerintah Indonesia mengizinkan Timor Timur untuk bikin referendum. Pada Januari 1999, Presiden B.J. Habibie bilang lebih baik referendum sekarang daripada ditunda 10 tahun lagi. Sebulan berikutnya, 100 delegasi Papua datang ke Habibie, mereka juga minta diizinkan bikin referendum. Habibie menolak. Namun Habibie menjanjikan otonomi khusus kepada Papua –persis seperti janji Soeharto pada 1969.

Janji Habibie dijawab oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Megawati memberikan status daerah Otonomi Khusus kepada Papua pada Agustus 2001. Ia meliputi pelimpahan kekuasaan lebih besar secara politik dan keuangan bagi provinsi ini. Undang-undang Otonomi Khusus juga secara eksplisit mengizinkan simbol-simbol identitas Papua ditampilkan terbuka, seperti bendera dan lagu kebangsaan rakyat Papua. Ia juga mengizinkan pendirian Majelis Rakyat Papua, sebuah organisasi perwakilan penduduk asli Papua, yang merasa terpinggirkan dengan kedatangan migran Indonesia.

Namun salah seorang wakil Papua yang ikut “musyawarah” serta mendengar janji-janji Presiden Soeharto pada Agustus 1969, merasa perlu untuk menyatakan keraguan dia secara terbuka. Kali ini dia merasa perlu mendengar hati nurani dia. Nama politikus tersebut Theys Eluay. Dia mantan politikus binaan Soeharto dan kini ketua umum Presidium Dewan Papua, sebuah organisasi yang kuat. Eluay menolak program otonomi khusus dari Jakarta. Dia bilang Papua harus merdeka. Dia tak ingin Papua tertipu lagi. Dia ingin PBB memahami ketidakpercayaan bangsa Papua terhadap Indonesia.

“Kalau saya mati, saya pasti masuk ke surga. Tetapi kalau saya lihat orang Indonesia di sana, biar satu orang saja, saya akan lari tinggalkan surga. Kalau malaikat Tuhan tanya saya mengapa lari, nanti saya jawab, ‘Ah saya takut orang Indonesia menjajah kami orang Papua di surga juga,’” kata Theys Eluay.

Pada 10 November 2001, Komando Pasukan Khusus alias Kopassus, nama baru Kopassandha, mengundang Theys Eluay ikut perayaan Hari Pahlawan Indonesia, yang diadakan Kopassus di daerah Hamadi, Port Numbay. Ketika pulang, tujuh prajurit Kopassus mencegat, mencekik dan membunuh Theys Eluay. Sopirnya, Aristoteles Masoka, sempat telepon isteri Eluay, Yaneke Ohee, dan bilang Eluay diculik. Namun telepon tersebut singkat sekali. Mayat Eluay dan mobil Toyota Kijang dibuang di daerah Koya, luar kota Port Numbay.

Sehari sesudah pembunuhan, Lt. Kol. Hartomo, komandan Kopassus di Port Numbay, bikin press conference. Dia bilang Kopassus sama sekali tak terlibat dengan pembunuhan Eluay. Masoka sendiri hilang tak tentu rimba hingga hari ini. Namun tekanan dunia internasional memaksa kepolisian Indonesia melakukan penyelidikan. Pada April 2003, pengadilan di Surabaya menghukum tujuh prajurit Kopassus, termasuk Letnan Kolonel Hartomo, melakukan penganiayaan, yang berakibat kematian Eluay. Namun mereka tak terbukti melakukan pembunuhan. Hukuman penjara tujuh prajurit itu antara dua hingga 3,5 tahun penjara. Hartomo pingsan ketika mendengar dia dipecat dan dihukum penjara 3.5 tahun.

Namun Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu memuji para terhukum sebagai ”pahlawan Indonesia” karena berhasil membunuh ”pemberontak”. Tak ada investigasi lebih lanjut untuk mengetahui siapa yang memerintahkan pembunuhan itu. Tak ada pejabat senior yang dituntut bertangungjawab. Masoka juga hilang tanpa ada upaya pencarian.

Pembunuhan ini secara dramatis meningkatkan ketegangan politik di Papua. Orang Papua makin meragukan otonomi khusus dimana dikatakan hak-hak asasi manusia akan dihargai. Bagaimana bisa percaya otonomi bila Theys Eluay dibunuh?

Pengganti Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menciptakan sebuah aturan dimana menaikkan bendera Bintang Kejora dinyatakan sebagai kegiatan terlarang lewat Peraturan Pemerintah nomor 77/2007. Aturan ini, menurut ketua Majelis Rakyat Papua Agus A. Alua, melanggar UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus. Namun Yudhoyono diam saja.

Ironisnya, orang-orang Papua lantas mengetahui bahwa Hartomo, yang sudah dihukum penjara 3.5 tahun dan dipecat dari militer, ternyata naik pangkat menjadi kolonel. Hartomo bahkan menjadi komandan Group I Kopassus di Serang.

Sementara pengadilan Indonesia terus mengkriminalkan aktivis-aktivis Papua, termasuk Filep Karma, yang menyebarkan sentimen kemerdekaan, lewat pengibaran bendera. Indonesia melarang segala bentuk pengungkapan ekspresi damai di Papua.

Kami bertiga hanya bisa termenung dalam toko Graha Budaya Indonesia.

Ketika membaca Prosecuting Criminal Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners, Seichi Okawa mengatakan kasihan begitu banyak orang Papua ditahan di berbagai penjara Indonesia. Dia melihat gambar Filep Karma. Ferdinand Pakage. Simon Tuturop. Buchtar Tabuni. Dia geleng-geleng kepala. Kami menghabiskan kopi Wamena. Pamitan.

Izumi Kurimoto dan saya meninggalkan kantor Okawa-san serta menuju stasiun Takadanobaba. Ketika jalan kaki, menelusuri jalan-jalan kecil, saya pikir, selama empat dekade terakhir, saya heran bahwa dukungan untuk merdeka tetap bertahan. Ketidakpercayaan orang Papua terhadap pemerintah Indonesia makin hari makin menyebar. Mungkin karena orang Papua kehilangan tanah-tanah adat bagi proyek-proyek pembangunan, dan gelombang para pendatang dari Indonesia, terutama Pulau Jawa, tetap jalan sesudah Presiden Soeharto mundur. Taktik umum yang dipakai para pendukung kemerdekaan, dengan sederhana menaikkan bendera Bintang Kejora dalam upacara terbuka, secara emosional memang matching dengan psikologi orang Papua. Saya tahu bahwa isu kemerdekaan bukan masalah hukum sederhana. Papua secara legal adalah sah milik negara Indonesia. Saya tak tahu hingga kapan perbedaan ini bertahan. Dan entah berapa banyak orang Papua lagi akan dikorbankan.

III

PADA 3 Mei 2010, Dzulkiflry Imadul Bilad, seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung, salah satu perguruan tinggi paling prestisius di Pulau Jawa, menumpahkan kemarahan tentang kekalahan klub sepakbola Persib Bandung terhadap Persipura Port Numbay dengan update Facebook: “Dasar orang Papua, bisanya tarkam, pake otot bukan pake otak maen bolanya, ga sekolah, bodo2 semua, udah item idup lai. Sialan lu Papua!”

Status itu menyulut reaksi. Yohanes Okdinon, seorang mahasiswa Papua di Bandung, menyebarkan kalimat Bilad, dalam jaringan Facebook. Bilad minta maaf, sehari kemudian, juga lewat status Facebook. Sedikitnya muncul 500 kecaman terhadap Bilad. Bahkan dua minggu kemudian, Ikatan Mahasiswa Papua Bandung bikin protes depan gedung ITB. Sekitar 100 mahasiswa Papua minta ITB memberhentikan Bilad. Poster mereka berbunyi:

- “Rasisme Terhadap Orang Papua=Melanggar HAM orang Papua”
- “Tidak Ada Perbedaan Diantara Kita, Kita Satu RI”
- “Selama Anak-Anak Kandung Pertiwi Masih Rasis, Selama Itu Pula Bumi Pertiwi Indonesia Berjalan di Tempat”.

Komentar Yohanes Okdinon muncul di media. “Sebenarnya kita menyesalkan kenapa pernyataan rasis seperti itu bisa keluar dari mahasiswa universitas ternama,” kata Okdinon.

ITB memang salah satu perguruan tinggi paling utama di Indonesia. Ia menghasilkan banyak menteri, pengusaha, insinyur, politisi dan sebagainya. Alumnus ITB paling terkenal adalah Presiden Soekarno, seorang insinyur teknik sipil, yang lulus dari ITB ketika masih zaman Belanda. Namun presiden Keluarga Mahasiswa ITB Herry Dharmawan menolak tuduhan Okdinon. Dia bilang Zulfikry Imadul Bilad murni kesalahan pribadi. Ia tak mencerminkan ITB.

Okdinon mengatakan kasus Bilad menunjukkan sistem pendidikan di Indonesia gagal mendidik murid untuk tak rasialis terhadap orang Papua. Rektor ITB Akhmaloka memutuskan sanksi skors tiga semester dan kerja sosial pada Zulfikry Bilad.

Dzulkiflry Imadul Bilad, tentu saja, bukan satu-satunya kasus rasialisme terhadap Papua lewat Facebook. Pada 9 September 2010, empat bulan sesudah kasus Bandung, seorang mahasiswi Universitas Indonesia, Chey Nahumury, menulis: "Orang negro dgn papua busuk tuh,,, beda kawan!!!!!!!!!!!! klo dorang wangi, kam tuh kulit bau, apalagi ketiak, coba... ko buktikan sekarang ko cium ko pu ketiak pasti bau tra enak."

Nahumury seorang mahasiswa Ambon, lulusan sekolah menengah di Abepura, Papua. Universitas Indonesia juga termasuk perguruan tinggi paling prestisius di Pulau Jawa. Ia cukup mengundang keramaian dalam Facebook. Nahumury segera mengganti nama account dia. Masalah ini tak mengundang protes sebesar ITB.

Saya pribadi tak heran bahwa ada mahasiswa-mahasiswa dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia yang berpandangan rasialis terhadap manusia Papua. Ia sama dengan rasialisme terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat. Rasialisme Papua hal umum di Indonesia. Mereka dihina sebagai orang hitam, orang bodoh, orang bau dan orang kasar. Pada 1994, Dr. George J. Aditjondro, seorang cendekiawan Indonesia, menulis berbagai kasus rasialisme Papua, dalam sebuah paper, “Menerapkan Kerangka Analisis Frantz Fanon terhadap Pemikiran tentang Pembangunan Irian Jaya.” Aditjondro menggunakan argumentasi Fanon, pemikir Aljazair, yang bikin pengamatan di Aljazair dan Afrika Selatan, soal warna kulit, kolonialisme dan rasialisme. Rasialisme ini mensyaratkan kebudayaan si penjajah lebih tinggi dari kebudayaan si kulit hitam. Fanon mengatakan bahwa kolonialisme selalu disertai rasialisme.

Saya kira penjelasan ini penting untuk menerangkan bagaimana mayoritas orang Indonesia melihat Papua. Status Facebook Zulfikry Bilad dan Chey Nahumury mencerminkan superioritas Indonesia terhadap Papua. Ia mencerminkan rasialisme yang typical dari orang Indonesia terhadap orang Papua. Ia juga menerangkan mengapa rasialisme ini penting ketika Indonesia mengirim ratusan ribu migran ke Papua, termasuk orang tua Chey Nahumury, guna mendirikan koloni-koloni Indonesia di Papua. Ini sama dengan kolonialisme Eropa di Aljazair dan Afrika Selatan.

Heni Lani, mahasiswa Papua di Bandung, mengatakan, “Secara pribadi, saya melihat, mengalami, merasakan dan menyadari bagaimana orang Papua terus dipecah-belah dan dipermainkan dengan berbagai cara. Misalnya kebijakan pemekaran, dana ototonomi khusus, 'perang suku', istilah gunung-pantai dan lain-lain. Sa yakin, sodara-sodara yang lain juga mengalami hal yang sama.”

Rasialisme ini umum terjadi di media Indonesia. Dr. Aditjondro menulis, “Betapa populernya penggambaran tentang orang Dani sebagai ‘orang-orang yang nyaris telanjang, yang masih hidup di zaman batu,’ tanpa menyadari bahwa para petani di Lembah Balim, misalnya, memiliki budaya pertanian ubi-ubian yang tergolong paling canggih di dunia, hasil inovasi dan adaptasi selama 400 tahun tanpa bantuan sepotong logam.” Di Facebook milik “kawan-kawan” saya, ada saja gambar orang Papua pakai koteka sambil pakai mobile phone. Ada koteka orang Dani dipasangi antena telepon. Ada gambar perempuan Dani, dada telanjang, lagi mengetik laptop.

Dalam film dokumenter Strange Birds in Paradise karya Charlie Hill-Smith, Prof. Arief Budiman, seorang cendekiawan Indonesia di Melbourne University, mengatakan bahwa orang Papua masih “primitif” dan memerlukan “teknologi dari Jawa.” Makin lengkaplah pandangan merendahkan orang Papua, dari mahasiswa macam Bilad hingga profesor Arief Budiman.

Pada September 2010, secara acak saya google dua frasa: Metro TV dan "perang suku." Metro TV adalah salah satu televisi terkemuka di Jakarta dengan siaran seluruh Indonesia. Hasilnya, dalam waktu 0.25 detik, saya dapatkan 3,260 referensi terhadap dua frasa itu.

Misalnya dengan berita berjudul, “Perang Suku di Kwamki Lama Kembali Pecah” pada 13 Mei 2010:

Metrotvnews.com, Timika: Perang antarkubu kembali pecah di Kwamki Lama, Timika, Papua, Kamis (13/5) siang. Dua orang terluka dan dilarikan ke Rumah Sakit Mitra Masyarakat Timika.

Keributan terjadi antara warga Mambruk dengan warga Tunikama. Dua kelompok berseteru setelah warga Mambruk menyerang lawannya. Kejadian berlangsung di hutan sejak pagi hingga siang. Kedua kubu sepakat tidak ribut di jalan raya.

Padahal keributan terjadi antara dua kelompok, warga Mambruk dan warga Tunikama, di kampung Kwamki Lama. Metro TV tak sebut bahwa ketika Freeport mulai bikin penambangan, mereka menggusur kampung-kampung asli Papua, serta menempatkan orang dari macam-macam kampung tersebut di Kwamki Lama. Wajar bila sesekali terjadi salah paham di daerah Kwamki Lama. Ia bukan masyarakat tradisional. Ia sudah masyarakat urban dengan macam-macam warga dari macam-macam daerah. Metro TV menggambarkan “Kwamki Lama” seakan-akan ia cermin Papua.

Heni Lani mengatakan bila ada keributan serupa di Jawa atau Sumatra, media pakai istilah “kriminalitas” atau “perkelahian antar gang.” Namun bila terjadi di Papua, media memberitakan sebagai “perang suku.” Kesannya, orang Papua terbelakang, masih perang antar suku dan bodoh. Pemberitaan ini merendahkan orang Papua. Ia tak beda dengan status Bilad dan Nahumury. Ia membenarkan sikap pemerintah Indonesia untuk melakukan “pendidikan yang keras” terhadap orang hitam, orang bodoh, orang kasar dan bau.

Kontributor Metro TV di Timika Alfian Pakadang mengatakan pada saya, “Itu kesalahan redaksi. Saya tidak memakai istilah perang suku. Saya pakai istilah ‘bentrokan antar kelompok’ atau ‘antar warga.’” Ini ketidaktahuan mereka. Saya selalu jelaskan bahwa ini tidak jauh beda dengan tawuran-tawuran di mana-mana. Ini bukan perang suku. Ini gabungan-gabungan orang.” Pakadang bilang terminologi “perang suku” adalah istilah yang rasialis. Dia tak mengerti mengapa redaksi Metro TV di Jakarta selalu pakai terminologi “perang suku.”

Contoh lain adalah buku terbitan Kopassus pada Desember 2009 berjudul Kopassus untuk Indonesia karangan Iwan Santosa dan E.A. Natanegara. Ia menggambarkan Kopassus sebagai sebuah organisasi yang sudah berubah, sudah belajar hormat hak asasi manusia. Ia juga menyesal Kopassus terlibat dalam penculikan mahasiswa pada zaman Presiden Soeharto. Ia juga cerita bahwa sekitar 1,000 dari 5,000 prajurit Kopassus ditugaskan di Papua … dan mereka sudah bisa bicara dialek Papua. Namun ada satu kasus besar sama sekali tak disebut buku tersebut: Theys Eluay. Ia mengesankan bahwa pembunuhan Eluay tidak penting. Ia mengesankan tak ada penyesalan dari Kopassus terhadap pembunuhan Theys Eluay. Buku tersebut terbitan Red & White Publishing, sebuah perusahaan Jakarta, yang diberi mandat oleh komandan Kopassus Mayor Jenderal Pramono Edhie Wibowo. Saya wawancara Iwan Santosa, seorang wartawan Kompas, namun dia menolak keterangan dia saya kutip.

Lengkaplah sudah. Dari mahasiswa hingga profesor, dari wartawan hingga tentara. Saya kuatir Frantz Fanon perlu sedikit revisi analisis dia. Rasialisme-cum-kolonialisme bukan saja terjadi antara orang kulit putih dan kulit hitam. Tapi juga kulit coklat terhadap hitam.

Benarlah argumentasi Ernest Renan, pemikir nasionalisme dari Brittany, Prancis, bahwa jangan karena warna kulit sama, atau hampir sama, maka ia sekaligus jaminan mereka satu “bangsa.” Kolonialisme dengan beda sedikit warna kulit lebih sulit dimengerti daripada kolonialisme kulit putih terhadap kulit hitam. Nasionalisme Indonesia sudah gagal ketika ia membiarkan rasialisme tumbuh dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas --sesama kelompok masyarakat dalam negara Indonesia. Nasionalisme sebaiknya tak didasarkan pada kesamaan warna kulit … namun kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita.

IV

PADA 17 Agustus 2009, ketika hendak berkunjng ke penjara Cipinang di Jakarta, tiba-tiba saya dapat pesan dari Filep Karma. Suara lirih. Dia bilang dia kesakitan, nyaris tak bisa kencing selama lima hari. Tampaknya, ada sesuatu yang tidak beres dengan saluran kencing dia.

Saya tanya apakah sudah minta izin berobat? Karma mengatakan kepala sipir penjara Anthonius Ayorbaba memerintahkan Karma dibawa ke klinik penjara. Perawat klinik cuma menganjurkan Karma minum banyak air dan tiduran dengan kaki diangkat. Saya kecewa sekali. Saya tahu narapidana berhak mendapat perawatan dalam penjara. Untungnya, hari itu, ada seorang wartawan Bintang Papua Hendrik Yance Udam memotret Karma dengan kaki diangkat dalam sel yang berantakan. Keesokan hari, gambar tersebut diterbitkan Bintang Papua dan Ayorbaba terpaksa setuju membawa Karma ke rumah sakit Dok Dua, Port Numbay.

Dokter Dok Dua mengobati Karma beberapa waktu antara Agustus dan Oktober 2009. Dalam sebuah surat bertanggal 5 Oktober 2009, Dr. Mauritz Okosera dan Jhon Sambara, masing-masing kepala unit pemindahan pasien dan kepala administrasi rumah sakit Dok Dua, menulis kepada PT Asuransi Kesehatan Indonesia, sebuah perusahaan asuransi, menyatakan bahwa pasien Filep Karma harus dibawa ke Rumah Sakit PGI Cikini di Jakarta guna operasi urologi. Pada 11 November 2009, Dr. Donald Arronggear dari rumah sakit Dok Dua memerinci hasil tes medis Karma yang dilakukan di rumah sakit selama dua bulan. Dia merekomendasikan Karma secepatnya dibawa ke unit pengobatan urologi modern di Jakarta.

Karma membuat surat, minta kepada Ayorbaba agar bisa dibawa ke Jakarta guna menjalani operasi. Ayorbaba mengatakan kepada anggota keluarga Karma bahwa dia tak punya wewenang memerintahkan pemindahan semacam ini. Dia juga menambahkan pemerintah Indonesia tak punya uang guna mengobati Karma ke Jakarta.

Ayorbaba mengatakan agar Karma minta izin pemindahan ke Nazarudin Bunas, kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Port Numbay. Pendek kata, selama beberapa bulan, Filep Karma dipingpong dari sana ke sini, dari sini ke sana. Uang selalu jadi masalah.

Sekelompok aktivis dari Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua mulai menggalang dukungan pada 8 Maret 2010. SKPHP minta sumbangan terbuka di jalan-jalan, guna membantu pengobatan Filep Karma dan Ferdinand Pakage. Mereka mengumpulkan Rp 25 juta dalam dua hari pertama penggalangan dana. Mereka bilang sumbangan paling banyak berupa pecahan uang Rp 100 ribu. Ada juga kawan lama Karma sumbang Rp 40 juta. Namun Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Ayorbaba tetap menolak untuk proses izin berobat itu.

Pada awal Mei 2010, pemerintah Indonesia mengirim kepala penjara baru, Liberty Sitinjak, menggantikan Ayorbaba sebagai kepala penjara Abepura. Sitinjak terkaget-kaget ketika tahu bahwa tak ada berkas Filep Karma dalam file peninggalan Ayorbaba. Pergantian ini, dari Ayorbaba, yang orang Papua, kepada Sitinjak, yang orang Batak, membuka jalan untuk pengobatan Filep Karma ke Jakarta. Sitinjak mengurus prosedur pengobatan. Ayorbaba meradang dan menolak dipindah ke Sumatra.

Karma sendiri menolak berangkat ke Jakarta bila Ferdinand Pakage tak ikut diberangkatkan. Dia bilang Pakage sakit lebih lama daripada dia. Beberapa aktivis dan keluarga Pakage membujuk Karma berangkat lebih dulu karena dia sudah lebih berumur daripada Pakage. Ferdinand Pakage juga perlu diperiksa lebih dulu di rumah sakit Dok Dua. Akhirnya, Karma bersedia berangkat ke Jakarta.

Tokoh Papua Filep Karma menjalani perawatan prostate di rumah sakit PGI Cikini, Jakarta, selama 11 hari. Seorang perawat mengecek tekanan darah Karma sesudah operasi. ©2010 Ricky Dajoh

Saya ikut menyambut kedatangan Filep Karma di airport Jakarta pada 19 Juli 2010. Dia datang bersama ibunya, Eklefina Noriwari, seorang paman, seorang sepupu, asisten dan asisten Karma, Cyntia Warwe, serta dua petugas penjara Abepura dan polisi Port Numbay. Serah terima dari petugas Abepura kepada petugas penjara Cipinang, yang secara resmi mengampu Karma selama di Jakarta, dilakukan langsung di rumah sakit Cikini.

Dokter David Manuputty, seorang spesialis urologi, yang sudah bikin pencangkokan ginjal lebih dari 400 kali, langsung melakukan pemeriksaan di Cikini. Karma dapat cek darah, tekanan jantung, rontgen, CT Scan, USG dan sebagainya. Menurut Cyntia Warwe, dokter Manuputty mengatakan Karma ternyata diet dengan ketat, selalu minum air dan tak makan daging merah (hanya ikan). Diet ini menyelamatkan nyawa Karma. Biasanya orang dengan prostate acute sudah stroke. Manuputty mulanya kuatir prostate ini sudah mempengaruhi ginjal.

Pada 22 Juli, Manuputty melakukan bedah laser prostate selama dua jam. Manuputty tak pakai pisau bedah. Dia memasukkan sebuah alat ke dalam prostate Karma. Ada benjolan daging dalam prostate, yang menutup saluran kencing, dipotong dan dibelah-belah lewat bantuan kamera kecil dan laser. Dia perlu tiga hari lagi untuk recovery. Kencing masih berdarah dan keluar potongan daging lewat saluran kencing. Karma sempat minta seseorang menunjukkan foto prostate kepada saya.

Empat hari kemudian, Manuputty menyatakan operasi berjalan lancar dan berhasil. Air kencing Karma sudah jernih. Dari hasil rontgen, dokter juga menemukan bekas patah tulang tetapi sudah sembuh walau tak sempurna, tampaknya dampak dari Karma terjatuh di penjara Abepura. Operasi prostate selesai. Namun, rombongan perlu empat hari lagi menunggu penerbangan pulang sekaligus mengurus pengawalan dari pihak Cipinang. Beberapa kawan lama dia datang bezoek ke rumah sakit. Saya juga datang membawa makanan dan bacaan. Karma terlihat gembira. Dia sering tertawa dan bergurau.

Dia mengatakan pada saya jumlah orang asli Papua terancam dengan kedatangan jumlah migran Indonesia, secara besar-besaran, sehingga kebudayaan Melanesia tertekan oleh kebudayaan migran. Dia bilang pada sensus 1971, jumlah penduduk asli Papua sekitar 900 ribu dari total hampir sejuta orang. Orang Papua sekitar 90 persen. Kini jumlah tersebut kurang dari 50 persen dari lebih 3 juta warga total Papua. Dia bilang orang Papua menerima migran. Namun tidak dalam jumlah dan dominasi sebesar sekarang (Sensus 2010 mengatakan total warga Papua 3.9 juta dan penduduk asli diperkirakan 49 persen. Papua adalah daerah dengan pertumbuhan penduduk paling tinggi di seluruh Indonesia).

Dia bilang dia ingin kelak, bila Papua jadi negara berdaulat, ia juga tetap terbuka terhadap para migran Indonesia, yang sudah lahir dan hidup di Papua. Perjuangan dia bukan perjuangan yang rasialis. Dia tunjukkan pada saya beberapa kawan sekolah dia, ada orang Minahasa, Batak maupun Jawa, bezoek ke rumah sakit. Dia juga sadar betapa banyak politikus Papua baku hantam, besar ego dan selalu berebut cari nama.

“Saya pernah bilang pada anak-anak Parlemen Jalanan. Bila Papua merdeka, saya ingin nama saya dihapus dari sejarah perjuangan bangsa Papua. Biar anak saya atau cucu saya tidak manfaatkan nama bapa atau opa mereka untuk cari jabatan atau penghargaan. Saya sedia mati demi rakyat Papua. Bukan cari jabatan. Bukan cari nama,” katanya.

Audryne, putri sulung Karma, mengatakan pada saya, "Satu pesan Bapa yg selalu saya ingat, "Lebih baik jadi berguna daripada jadi hebat. Hebat belum tentu ko bisa bantu banyak orang. Dan ingat selalu bersyukur sama Tuhan."’

Penjagaan di rumah sakit, tentu saja, cukup ketat. Selain dijaga dua petugas Cipinang, Filep Karma juga dijaga polisi Jakarta Pusat serta Badan Intelijen Negara. Keluarga Karma, termasuk Audryne dan adikknya, Andrefina, juga menjaga dengan bantuan mahasiswa Papua di Jakarta. Mereka berdua kuliah di Bandung. Filep Karma kembali ke penjara Abepura pada 30 Juli 2010.

Saya senang Filep Karma dapat pelayanan bermutu di Jakarta. Dia lega karena dia diperlakukan beda dari Dr. Tom Wanggai. Namun Karma hanya satu dari banyak orang Papua yang jadi korban pelanggaran oleh Indonesia. Dan Karma juga masih tetap berada di penjara hingga tahun 2019. Dia konsisten menolak remisi karena secara tersirat ia berarti dia mengakui dia bersalah. Karma memang tidak bersalah. Dia dipenjara secara tidak adil. Saya kira perlu lebih banyak lagi kampanye dan kerja untuk mendesak pemerintah Indonesia membebaskan tapol macam Filep Karma. Dan tentu perlu ada perbaikan cara berpikir di Indonesia dalam memandang Papua.

Jakarta, November 2010

Sabtu, 05 Maret 2011

West Papua Report March 2011

This is the 83rd in a series of monthly reports that focus on developments affecting Papuans. This series is produced by the non-profit West Papua Advocacy Team (WPAT) drawing on media accounts, other NGO assessments, and analysis and reporting from sources within West Papua. This report is co-published with the East Timor and Indonesia Action Network (ETAN). Back issues are posted online at http://etan.org/issues/wpapua/default.htm Questions regarding this report can be addressed to Edmund McWilliams at edmcw@msn.com. If you wish to receive the report via e-mail, send a note to etan@etan.org.
Summary:

Newly obtained video footage reveals Indonesian security forces, including U.S. and Australian-backed Detachment 88 personnel, brutality in operations in West Papua's Central Highlands. Indonesian NGOs and prominent Papuans have faulted President Yudhoyono's newly announced approach to dialogue with Papuans with criticism of Jakarta's failure to end human rights violations and impunity by security forces as a basis for dialogue. Papuans criticized Jakarta's selection of a limited range of Papuans as dialogue partners and have urged a role for international mediators. A prominent West African leader has announced support for West Papua's self-determination. The chair of the Papuan Peoples Council (DAP) denounced the Indonesian government's policy of transmigration. The Asian Legal Resource Center has appealed to the UN Human Rights Council to address continued security force abuse of human rights in West Papua. A Papuan political prisoner who is gong blind as a result of an attack by a prison warder needs urgent care. A report from within West Papua details land grabs by the Indonesian military and "developers" which have targeted Papuans in the Sorong area. Hamish McDonald considers Papuans' struggle for self-determination in the light of recent similar successful examples within the international community.

Contents:

New Video Footage Reveals Indonesian Military Brutality
Government's "Dialogue" Approach with Papuans Faulted
West African Leader Supports Papuan Self Determination
Chair of the Papuan People's Council Condemns Transmigration As Harmful To Local People
Human Rights Council Hears Urgent Appeal Regarding Human Rights Abuse in West Papua
Journalist Organization Chief Calls for Reporting on Human Rights in West Papua
Another Papuan Political Prisoner Denied Adequate Medical Treatment
Military and Military-Backed "Developers" Seize Papuan Lands
Analysis Considers Papuan Self-Determination Struggle in Context of Similar Recent Successful Efforts
New Video Footage Reveals Indonesian Military Brutality

Video footage released in early February reveals previously unseen Indonesian military brutality against Papuan civilians in Kapeso in 2009. The footage was released by West Papua Media and can be viewed here: http://www.youtube.com/watch?v=VD0eFA4scTo

The video shows the late May 2009 raid on the Kapeso airstrip in the village of Kampung Bagusa in Mamberamo regency by troops from Indonesia's elite police counter-terrorism unit Detachment 88 as well as other security personnel from BRIMOB and other units. Detachment 88 was created at behest of the U.S. government and receives significant U.S. and Australian Government funding and training assistance.

The footage, filmed by a Detachment 88 officer on his mobile phone, shows the immediate aftermath of a raid to retake the airfield which had been occupied for several weeks by a small armed group and a large number of villagers. The bodies of at least five dead are visible on the ground and sporadic gunfire is clearly heard. It appears that the footage was taken well after the killing took place. Footage depicting security personnel taking cover behind desks appears to have been staged to suggest the conflict was continuing.

Disturbing scenes at the end of the footage appear to show two Papuan children tied up and being forced at gunpoint to crawl along the floor by the Indonesian military. The footage continues to show them in apparent pain while the soldiers taunt them. In another scene troops are shown firing at civilians cowering in adjacent brush.

Indonesian authorities have not investigated events surrounding the Kapeso occupation and shooting of civilians by security forces.

West Papua media commented that such footage of brutal Indonesian security force actions, amounting to 'trophy footage,' is rampant among troops operating in the region.

For all media enquiries please contact Nick Chesterfield at West Papua Media on wpmedia_admin@riseup.net or +61409268978

In September 2010, East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) and West Papua Advocacy Team (WPAT) called for suspension of U.S. aid to Detachment 88 "pending review of charges leveled against the unit for systemic human rights violations, including use of torture."

Government's "Dialogue" Approach with Papuans Faulted

The "Alliance for Papua" on February 25 issued a press statement that critiqued a government plan for dialogue with Papuans. The statement called on the government to better synchronize its plans for the dialogue with the reality of politics in Papua. (See below for composition of this NGO alliance.)


The Alliance for Papua urged that the government to create appropriate conditions for dialogue by undertaking to "consistently protect and comply with the basic rights of the Papua people by ensuring that there is no repetition of violations of Papuan human rights." The alliance also urged that the government review the presence of the TNI security forces and the undercover security operations "that continue to occur."

The initial government approach calls for two presidential assistants to engage in dialogue with Papuans who would be represented by the Papuan branch of the National Human Rights Commission (Komnas HAM), the Papuan People's Council (MRP), and the churches. The two presidential assistants are Bambang Darmono and Farid Husein.

The Alliance for Papua urged that the government to create appropriate conditions for dialogue by undertaking to "consistently protect and comply with the basic rights of the Papua people by ensuring that there is no repetition of violations of Papuan human rights." The alliance also urged that the government review the presence of the TNI security forces and the undercover security operations "that continue to occur."

According to the alliance, the government also should not proceed with the election of members of the MRP (Majelis Rakyat Papua, Papuan People's Council). The MRP is an institution that was mandated by Papua's special autonomy law (OTSUS). The vast majority of the Papuan people have declared that OTSUS has failed "because it has not taken sides with, given protection to, empowered and fulfilled the basic rights of the indigenous Papuan people."

The alliance points out that the government has nevertheless pressed ahead with the election of a second-term MRP in 15 districts of Papua. The second-term MRP is due to be sworn into office soon. The alliance objects to proceeding with the seating of the MRP because the election of MRP members "has not been transparent and has failed to comply with the [mandated] electoral stages." The alliance also contends that the counting of the votes has been deeply fraudulent.

The alliance argues that seating the fraudulently elected MRP members "will only reinforce the Papuan people's sense of disappointment towards a government that lacks any understanding and has shown no respect for local Papuan feelings."

For his part, the outgoing chairperson of the MRP, Forkorus Yoboisembut criticized the government approach to dialogue by arguing that those Papuan groups that the government has announced as dialogue partners are not representative of the people because they don't fully understand the Papuan problem. He contended that the government approach to dialogue would amount to the government talking to itself " because they are all within the same system, and this would solve nothing." He urged instead that the dialogue be with DAP (Dewan Adat Papua, Papuan Traditional Council) , the Papuan resistance (OPM), the Papuan parliament, and other Papuan groups.

Separately, the executive director of LP3BH,Yan Christian Warinussy said a neutral party should mediate the Jakarta-Papua talks, He suggested an international group such as the Henri Dunant Centre or a foreign country with experience in handling conflict resolution, including Aceh.

WPAT Note: The Alliance for Papua in Jakarta was set up as an expression of solidarity with humanitarianism, in support of fellow human beings in their struggle for justice and truth. The Alliance includes KontraS, ANBTI, IKOHI, Imparsial, Foker LSM Papua, Setara Institute, HRWG, Komnas Perempuan, FNMPP, IPPMAUS, Forum Papua Kalimantan, PGI, Walhi, JIRA, LBH Pers.

West African Leader Supports Papuan Self Determination


Benny Wenda with Senegal President Abdoulaye Wade.
WestPan, Canada's West Papua Action Network, reports that the President of Senegal Abdoulaye Wade has become the first African leader to publicly back West Papua's bid for self determination, stating that "West Papua is now an issue for all black Africans."

His comments came in late January during a conference in Senegal's capital Dakar, attended by Benny Wenda, a West Papuan activist who was granted political asylum by the British Government in 2003. Benny Wenda addressed the audience, telling them about the situation in his homeland. Following his address Wenda presented the President with a Papuan headdress, and was warmly embraced by him. The President then addressed the audience, urging all African nations to take attention to the West Papua issue and do whatever they can to help.

In 1969, when Indonesia, with the backing of the United States, sought UN approval for its annexation of West Papua through the fraudulent "Act of Free Choice," it encountered significant resistance in West Africa where the memories of colonialism were still strong.

Papuan People's Council Condemns Transmigration as Harmful to Local People

Responding to a report that the government plans to send more transmigrants to Papua, the chair of Dewan Adat Papua (Papuan People's Council) Forkorus Yoboisembut https://lists.riseup.net/www/arc/reg.westpapua/2011-02/msg00051.html asserted that continuation of transmigration would transform the Papuan people into a minority in their own lands and trigger conflicts. "'As the representative of the adat (traditional) people in Papua, I reject the transmigration program which fails to safeguard the position of the local people," he said.

Forkorus's statement came after media reports that the central government has allocated Rp 600 billion to pay for the transmigration of people from Indonesia to a number of so-called "under-populated" places in the Indonesian archipelago, including Papua. https://lists.riseup.net/www/arc/reg.westpapua/2011-02/msg00068.html

"I hope the central government will consider this matter carefully because the transmigration program to Papua has already resulted in the marginalization of the indigenous people in the context of (so-called) development work," Forkorus stated.

Forkorus said that the location of transmigrants in many places in Papua has made it difficult for the local communities to preserve their own culture and lifestyles. Development of more luxurious migrant lifestyles, he explained, intensifies the marginalization of the local people.

In addition, because the government has lavished attention on the transmigrants, feelings of envy emerge.

Forkorus also noted that Papuans' marginalization in their own homeland is evidenced by the cat that vast majority of those now running the economy are non-Papuans. Forkorus added that Papuans are not yet able to compete with the newcomers in economic affairs.

(WPAT Comment: Papuans rank at the bottom in Indonesia in terms of central government provision of health care, education services and employment creation. In the province of West Kalimantan, decades of central government driven "transmigration" has transformed the indigenous Dayak into a minority in their homeland and led to conflicts, particularly with Madurese transmigrants, along the lines of Forkorus's concerns. The policy, abandoned during the Suharto dictatorship due to international condemnation, has been resumed under the Yudhoyono administration despite criticism that it is tantamount to ethnic cleansing.)

Human Rights Council Hears Urgent Appeal Regarding Human Rights Abuse in West Papua

On February 22, the Human Rights Council heard an urgent plea from the Asian Legal Resource Center (ALRC) regarding worsening human rights abuse in West Papua and the impunity accorded perpetrators of that abuse. The statement said in part:

The Asian Legal Resource Centre (ALRC) is seriously concerned by ongoing, widespread human rights violations and violent acts being committed by the Indonesian security forces in the Papuan highlands in Indonesia. Impunity typically accompanies even the most serious abuses, as shown by the lack of effective remedies in a case of severe torture that the ALRC has documented recently. Despite institutional reforms in Indonesia, effective accountability for human rights violations in Papua is lacking, resulting in impunity that then engenders further atrocities.

Impunity and the sense of injustice that it engenders in society are having a strong impact on social stability and cohesion in Papua. Repression, discrimination and human rights violations by the Indonesian security forces are adding to tensions. Papuans reportedly feel like second-class citizens in Indonesia, even within Papua itself, and face discrimination, poverty and injustice as a result. The military arbitrarily suspect Papuans of being linked with rebel groups and stigmatize them, subjecting them to abuse.

The ALRC statement recounts two of the more flagrant examples of abuse and impunity where military personnel were videoed beating and torturing Papuan civilians (see West Papua Report December 2010). Those prosecuted for this received minimal sentences. The ALRC statement comments:

The government of Indonesia continues to deny the widespread use of violence by the Indonesian military in Papua, and alleges that these violations are rare and isolated, individual cases. However, the ALRC continues to receive further cases of violence against indigenous Papuans, including killings by the police and military, arbitrary arrests, the burning of houses and killing of livestock, which point to a widespread pattern of the use of violence, as well as a policy of intimidation by the Indonesian military.


Indonesia's penal code does not include torture as a crime. This means that members of the police that commit torture remain immune from criminal prosecution. Indonesia is therefore failing to comply with its obligations under the Convention Against Torture.

The statement underscores the inadequacy of the Indonesian military and civilian court systems for addressing the continuing abuses:

Human rights violations and other crimes committed against civilians by members of the military are still only tried by military courts, which lack independence, transparency, a comprehensive penal code incorporating human rights norms, and a system of punishments that are proportional to the severity of the crimes committed. A military tribunal is not able to hold perpetrators of torture accountable in line with international law standards. Such tribunals cannot invoke any military regulations that prohibit the use of torture. Therefore, perpetrators cannot be tried for committing torture and no remedies can therefore be provided to victims.

Furthermore, the country's penal code does not include torture as a crime. This means that members of the police that commit torture remain immune from criminal prosecution. Indonesia is therefore failing to comply with its obligations under the Convention Against Torture. Indonesia ratified the Convention against Torture in 1998, but the use of torture is still widespread and systematic...

The ALRC urgently calls for remedial action by the Indonesian government:

Jakarta must ensure that the security forces halt the use of excessive force and violence-based strategies in dealing with security-related issues in Papua. Allegations of human rights violations must be investigated and any lacuna in legislation and due process must be addressed. For example, torture must be criminalized in line with Indonesia's international obligations under the Convention Against Torture. Military personnel who are alleged to be responsible for human rights violations against civilians must be tried in civilian courts.

The ALRC also recommended that the Indonesian government undertake steps to reduce tensions and address outstanding injustice:

...the ALRC urges the Indonesian government to heed the call for dialogue made by the Papuan indigenous community and avoid a
further deterioration of the conflict in Papua. Finally, the ALRC calls on the Indonesian government to release all Papuan political prisoners,
in order to show its commitment to a new path towards peace, security and human rights in Papua.

The ALRC underscored the role and responsibility of the international community in addressing the ongoing abuses and impunity:

The ALRC invites the Special Rapporteur on the independence of judges and lawyers to recommend institutional reforms to the government of Indonesia to ensure that members of the military are held accountable by independent courts that uphold human rights and constitutional values and ensure that these are made available to legislators in Indonesia.

The ALRC also requests that the Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment follow up with the Indonesian government to ensure the full implementation of the recommendations made to Indonesia during the UPR review regarding the review of the penal code and the full criminalisation of torture.

Note: The Asian Legal Resource Centre is an independent regional non-governmental organization holding general consultative status with the Economic and Social Council of the United Nations. It is the sister organization of the Asian Human Rights Commission. The Hong Kong-based group seeks to strengthen and encourage positive action on legal and human rights issues at the local and national levels throughout Asia.

Journalist Organization Chief Calls for Reporting on Human Rights in West Papua

The chair of the the Papua chapter Alliance of Independent Journalists (AJI) speaking in Jayapura, urged the press in Papua to regularly monitor cases of human rights violations in Papua, according to a report published in February 11 JUBI and translated by TAPOL.

AJI's Victor Mambor emphasized the importance of the media reporting the human rights situation in Papua saying this can help reduce acts of repression against the civilian population.

He added that many reports about human rights in Papua were only available from NGOs active in the field, and these were frequently quoted in reports that appear in the media. He stressed the importance in ensuring that these reports are accurate and credible. Journalists should provide the appropriate references to make it easier for others to investigate the violations that occur.

WPAT Comment: Reporting on human rights violations in West Papua, particularly in instances where the TNI or police were involved, pose risks for journalists. Manokwari area reporter Ardiansyah Matra was murdered in July 2010 following his investigative reporting regarding police and military coercion targeting civilians in the development of the MIFEE plantation project in Manokwari. AJI has been active in following up on this case. Government restrictions placed on foreign journalists and NGO personnel impede their access to West Papua and reporting on human rights in the region.

Papuan Political Prisoner Denied Adequate Medical Treatment

New concerns have been raised about the inadequate medical treatment afforded Papuan prisoners of conscience Ferdinand Pakage. He is going blind following a beating by prison authorities in 2010.

Peneas Lokbere, chair of SKPHP HAM Papua (Solidarity for the Victims of Human Rights Violations in Papua), told JUBI that his organization is continuing to press for medical treatment for Ferdinand Pakage. "We will continue to fight for treatment after he was struck in the eye by an official of the Abepura Prison. This caused his eye to bleed and he is now not able to see any more with this eye" said Lokbere.

SKPHP is working with Pakage's family to press the prison authorities to speed up medical attention to his condition. Lokbere explained that his organization has been demanding treatment for Pakage since last year, when they sought permission for him to go to Jakarta where treatment is available. However, according to Lokbere, Prison Director Liberti Sitinjak refused permission for any transfer of Pakage out of West Papua. Lokbere noted that in 2010, Pakage was told by a doctor at the West Papua General Hospital in Dok II say that he needed to have an operation in Jakarta. The doctor said that his eye was badly damaged and that even if he does get medication in Jakarta, he will continue to be blind.

Pakage was assaulted by prison warders Alberth Toam, Victor Apono and Gustaf Rumaikewi while in detention in Abepura. Toam struck the blow that injured Pakage's eye. None of the warders has been held responsible for this assault. Pakage is now held in custody with common criminals, including those convicted of violent crimes.

Military and Military-Backed "Developers" Seize Papuan Lands

A Sorong-area leader has illegally transferred Papuan tribal lands to the Indonesian military (TNI) and to non-Papuans. The transferred land is vitally important, affording resources that are key to Papuan survival. Victims include Papuans belonging to various clans and tribes including the Osok, Mambringofok Idik and Fadan peoples in Klamono and Semugu and Kalaibin among others. The TNI has employed terror and intimidation targeting local Papuans to enforce the land transfers. The land sites are located along the Sorong to Klamono road at kilometer markers 16, 38 and 49 in the western end of the territory.

The military and non-Papuan developers will exploit the land for military base construction and oil palm plantation development. Specifically, local District Chief (Regent) Stefanus Malak provided land to the navy at km 16 and to the army at Km 38 to build a bases (the latter land belongs to the Semugu clan). Land was also transferred to the TNI, without tribal consent, at Km 49. This site will be used by the TNI to develop a palm oil plantation.

Seizure of land by the TNI, especially through use of force, violates various international obligations undertaken by Indonesia including the UN Declaration on the Rights of Indigenous People Article 30:

"1. Military activities shall not take place in the lands or territories of indigenous peoples, unless justified by a relevant public interest or otherwise freely agreed to or requested by the indigenous peoples concerned.

"2. States shall undertake effective consultations with the indigenous peoples concerned, through appropriate procedures and in particular through their representative institutions, prior to using their lands or territories for military activities."

Analysis Considers Papuan Self-Determination Struggle in Context of Similar Recent Successful Efforts

The Sydney Morning Herald on February 26 published an analysis comparing Papua's struggle for self-determination with some recent anti-colonial struggles. "A Worm Inside the New Indonesia" by veteran journalist Hamish McDonald draws on the experiences of south Sudan and Kosovo, two emerging nation states as potential models for West Papua. McDonald, former Foreign Editor of the Herald with extensive experience in Indonesia, concludes that these developments have had the effect of rendering "respect for the territorial integrity of states and post-colonial boundaries somewhat tattered."


Notwithstanding Indonesia's democratic progress since the fall of the Suharto dictatorship, West Papua remains "Indonesia's last and most intractable regional conflict.''

Indonesia has long insisted that the international community affirmatively express public recognition of its "territorial integrity" in the context of West Papua. Similarly, Indonesia once demanded international recognition of its territorial integrity to include its annexation of East Timor, though with less success.

McDonald cites Akihisa Matsuno of Osaka University as suggesting that between Kosovo and southern Sudan, the later would appear to offer a more applicable precedent for West Papua. Sudan became independent in 1956 from British rule, but has been in civil war most of the time since. A 2005 peace agreement finally conceded a referendum on independence by the south. This suggests to Matsuno that a lack of integration between territories ruled by the same colonial power can justify a separate state. McDonald writes that ''this means that colonial boundaries are not as absolute as usually assumed.''

There is a broad international consensus that the 1969 Indonesian annexation of West Papua was in violation of its UN mandate to administer the territory and entailed a transparently fraudulent referendum, the "Act of Free Choice." McDonald writes that Richard Chauvel, an Indonesia scholar at Melbourne's Victoria University, described West Papua as Indonesia's ''Achilles' heel'' and the conference. Chauvel argued that, notwithstanding Indonesia's democratic progress since the fall of the Suharto dictatorship, West Papua remains "Indonesia's last and most intractable regional conflict.'' As such, Chauvel contends, ''Papua has become a battleground between a 'new' and an 'old' Indonesia. The 'old' Indonesia considers that its soldiers torturing fellow Indonesians in a most barbaric manner is an 'incident'. The 'new' Indonesia aspires to the ideals of its founders in working towards becoming a progressive, outward-looking, cosmopolitan, multi-ethnic and multi-faith society.''

McDonald concludes that, as demonstrated by the ongoing developments in the Middle East, "the new media make it harder and harder to draw a veil over suppression. In the Indonesia that is opening up, the exception of West Papua will become more glaring."

Back issues of West Papua Report

http://www.etan.org/issues/wpapua/2011/1103wpap.htm